Featured Posts

Cash-Out Refinance For many, their homes are just not dwellings that protect them against rain, sun, and wind. But they are piggy banks, which can be used to raise some urgent money, even if the home still lays collateral...

Read more

Palm’s latest model, new handheld in a long time. Palm’s latest model, the TX, is its most ambitious new handheld in a long time. This isn’t because it’s full of cutting-edge features. It certainly is not. However, very few mid-range models have...

Read more

An image in a post Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Quisque sed felis. Aliquam sit amet felis. Mauris semper, velit semper laoreet dictum, quam diam dictum urna, nec placerat elit nisl in quam. Etiam...

Read more

Home Purchase Loan We all dream to own a home, at some point in our lives. In fact, this is a major driving force or one of the goals we have ahead while working day and night and saving a good share of the earnings every...

Read more

Rabu, 22 September 2010

Menjaga Kesucian Diri

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan diri. Dan Sungguh rugi orang yang mengotorinya” (Asy-Syams: 9 – 10).

Sangat Sering kita menyaksikan berita korupsi yang tayang di televisi maupun dimuat dalam surat kabar. Mungkin saat ini sudah menjadi rutinitas kita setiap hari. Terutama penikmat berita. Berbagai kejahatan korupsi dikupas dan dibahas diberbagai berita. Dari yang jutaaan hingga puluhan milyar. Dari yang kecil – kecilan hingga bergelar mega korupsi. Silih berganti terjadi setiap hari, hingga kita pun semakin biasa menyaksikannya. Semakin tidak sensitif.

Korupsi tak lain adalah pencurian atau perampokan. Namun terkesan tak bernilai sebuah kejahatan dan lebih bisa “dimaklumi”. Makanya tak heran, kita melihat pencuri dompet atau maling ayam yang tertangkap basah, kelihatan lebih berdosa dan bagaikan pesakitan dibandingkan dengan pengemplang uang rakyat milyaran yang tampil elegan, berdasi, dan lengkap dengan wajah tanpa dosanya (innocent).

Mungkin bagi yang masih sensitif geram menyaksikannya. Tanpa sadar kita bisa mengumpatnya dengan nada prihatin, marah atau geram. Tapi sudahkah kita sensitif dengan berbagai remeh temeh korupsi kecil – kecilan yang mungkin kerap tanpa sadar kita lakukan. Sebuah tindakan yang terkadang kita bingung, apakah ini boleh atau tidak, halal atau haram.

Menggunakan telepon kantor untuk sekedar menelpon keluarga di rumah apakah termasuk korupsi…? Mungkin bukan korupsi, tapi bisa juga korupsi. Setiap orang bekerja, selalu disertai dengan hak dan kewajiban. Apabila dalam kontrak atau surat perjanjian kerja kita tidak tercantum, bahwa menggunakan telepon kantor adalah bagian dari hak atau fasilitas, tentu saja ini sudah mengarah pada korupsi. Atau setidaknya diragukan.

Adalah Umar bin Abdul Azis, yang disebut – sebut sebagai Khulafaur Rasyidin kelima, ketika menjadi khalifah, sangat berhati – hati dalam menggunakan fasilitas negara untuk kepentingannya dan keluarganya. Suatu malam saat sang khalifah sedang mengerjakan tugasnya sebagai pemimpin negara, datang sang anak untuk menanyakan urusan pribadinya. Serta merta sang Khalifah yang sangat wara’ ini, mematikan lampu, dan menggantinya dengan lampu yang lain. Sang anak sangat terkejut, dan dengan penasaran langsung bertanya. “wahai ayah, kenapa engkau matikan lampunya…? Dengan tegas Umar bin Abdul Azis menjawab. “saat ini aku sedang mengurusi urusan pribadi dan keluargaku, dan aku tidak mau memakai fasilitas Negara!”

Begitulah Umar bin Abdul Azis. Dan mungkin sangat sulit kita temukan kembali pemimpin seperti itu. Pemimpin yang senantiasa menjaga kesucian dirinya dengan bersikap hati – hati (wara’). Saat ini kita selalu dijejali pemimpin yang mencari untung untuk kepentingan pribadinya. Pemimpin yang bertabur fasilitas negara yang tanpa ragu juga digunakan untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Bahkan tak sedikit yang dengan sengaja mencari dan menumpuk harta dengan cara memanfaatkan jabatannya. Dari korupsi yang terang – terangan dan kelas kakap dengan nilai milyaran, korupsi samar – samar dengan bahasa halus seperti uang pelicin, uang jalan, atau upeti. Atau mungkin korupsi yang tanpa sadar kita lakukan dengan tenang seperti memakai fasilitas kantor tanpa hak yang jelas dan tegas seperti diungkap di atas.

Saat ini memang jaman yang sangat sulit untuk membedakan antara yang hak dan yang batil. Korupsi bisa bernilai bisnis sampingan atau proyek. Bahkan, para aparat atau oknum pemerintah tidak akan asing dengan bahasa cari obyekan. Jika demikian, benarkah korupsi adalah bagian dari budaya manusia saat ini. Jika memang demikian, sudahkan peradaban kita mundur secara moral diera yang semakin moderen ini. Semoga saja tidak selama kita senantiasa melaksanakan Islam dengan baik dan menjadikan Al-Qur’an dan Hadist sebagai panduan hidup.

Dan kitapun berharap, bukan hanya korupsi besar yang diberantas dengan hasil korupsinya, seperti menangkap pelaku, menghukumnya dan mengambil kembali hasil korupsinya. Kitapun perlu meluruskan kembali dan mengubah paradigma nilai positif korupsi terselubung dengan arti yang sebenarnya. Karena inipun bisa mereduksi budaya buruk menjadi seolah – baik bahkan diterima secara bersama sebagai hal yang biasa – biasa saja. Bahkan diikuti banyak orang dan telah menjadi budaya baru.

Islam sebagai ajaran yang sempurna selalu jelas dan tegas untuk menjelaskan yang hak dan yang batil, yang halal dan yang haram. Bahkan perkara yang syubuhat atau diragukan apakah halal dan haram, Islam mengajarkan tegas, untuk bersikap hati – hati. Karena itu teladan Umar bin Abdul Azis perlu kita renungkan dan menjadi cambuk untuk menjaga dan mensucikan diri. Terutama bagi kita yang memanggul sebuah amanah, baik menjadi pejabat, pegawai atau profesi apapun.

Rasulullah SAW bersabda ‘’Barangsiapa yang menjaga dirinya dari hal-hal yang syubhat, sesungguhnya ia telah berhasil mencari kebersihan bagi agamanya dan nama baiknya sendiri.’’

(HR Bukhari dan Muslim).
Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

0 komentar:

Posting Komentar