Featured Posts

Cash-Out Refinance For many, their homes are just not dwellings that protect them against rain, sun, and wind. But they are piggy banks, which can be used to raise some urgent money, even if the home still lays collateral...

Read more

Palm’s latest model, new handheld in a long time. Palm’s latest model, the TX, is its most ambitious new handheld in a long time. This isn’t because it’s full of cutting-edge features. It certainly is not. However, very few mid-range models have...

Read more

An image in a post Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Quisque sed felis. Aliquam sit amet felis. Mauris semper, velit semper laoreet dictum, quam diam dictum urna, nec placerat elit nisl in quam. Etiam...

Read more

Home Purchase Loan We all dream to own a home, at some point in our lives. In fact, this is a major driving force or one of the goals we have ahead while working day and night and saving a good share of the earnings every...

Read more

Senin, 30 Agustus 2010

Dimanakah Allah SWT berada???

1. Pendapat Pertama:
Dimanakah Allah?

Pada masa sekarang ini, di mana banyak diantara kaum muslimin yang sudah sangat menyepelekan masalah aqidah shahihah yang merupakan masalah paling pokok dalam agama ini, maka akan kita dapati dua jawaban yang batil dan kufur dari pertanyaan “Dimana Alloh?”. Yang pertama mereka yang mengatakan bahwasanya Alloh ada dalam diri setiap kita? Dan kedua yaitu yang mengatakan Alloh ada di mana-mana atau di segala tempat?

Seorang Budak Pun Tahu Dimana Alloh
Ketahuilah wahai Saudaraku, pertanyaan “Dimana Alloh?” adalah pertanyaan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam kepada seorang budak perempuan kepunyaan Mu’awiyah bin Hakam As Sulamiy sebagai ujian keimanan sebelum ia dimerdekakan oleh tuannya. “Beliau bertanya kepada budak perempuan itu, ‘Dimanakah Alloh?’ Jawab budak perempuan, ‘Di atas langit’ Beliau bertanya lagi, Siapakah aku? Jawab budak perempuan, ‘Engkau adalah Rosululloh’, Beliau bersabda, ‘Merdekakan dia! Karena sesungguhnya dia seorang mu’minah (perempuan yang beriman)’.” (HR. Muslim dan lainnya)
Maka perhatikanlah dengan seksama masyarakat tersebut, yang mana Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam berjihad bersama mereka, aqidah mereka sempurna (merata) hingga pada para penggembala kambing sekalipun, yang mana perjumpaan (pergaulan) mereka dengan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam sangat sedikit, seperti penggembala kambing ini. Kemudian bandingkanlah dengan realita kaum muslimin sekarang ini, niscaya akan kita dapatkan perbedaan yang sangat jauh. Keyakinan di mana Alloh termasuk masalah besar yang berkaitan dengan sifat-sifat-Nya yaitu penetapan sifat Al-’Uluw (sifat ketinggian Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bahwa Dia di atas seluruh mahluk), ketinggian yang mutlak dari segala sisi dan penetapan Istiwa’ (bersemayam)-Nya di atas Al-’Arsy, berpisah dan tidak menyatu dengan makhluk-Nya sebagaimana yang diyakini oleh kaum Wihdatul Wujud, yang telah dikafirkan oleh para ulama kita yang dahulu dan sekarang. Dan dalil-dalil yang menunjukkan penetapan sifat ini sangatlah banyak, sangat lengkap dan jelas, baik dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, ijma’, akal dan fitrah sehingga para ulama menganggapnya sebagai perkara yang bisa diketahui secar a mudah oleh setiap orang dalam agama yang agung ini.

Dalil-Dalil Al Qur’an
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “(Robb) Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy.” (Thoha: 5). Dan pada enam tempat dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga ber firman, “Kemudian Dia Istiwa’ (bersemayam) di
atas ‘Arsy.” (Al-A’raf: 54). ‘Arsy adalah makhluk Alloh yang paling tinggi berada di atas tujuh langit dan sangat besar sekali sebagaimana diterangkan Ibnu Abbas, “Dan ‘Arsy tidak seorang pun dapat mengukur berapa besarnya.” (Dikeluarkan oleh ImamIbnu Khuzaimah, sanadnya Shahih). Ayat ini jelas sekali menunjukkan ketinggian dan
keberadaan Alloh Subhanahu wa Ta’ala di atas langit serta menutup jalan untuk meniadakan atau menghilangkan sifat ketinggian-Nya atau mentakwilkannya. Para ulama Ahlus Sunnah pun sepakat bahwa Alloh Subhanahu wa Ta’ ala ber-istiwa’ di atas ‘Arsy-Nya sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya tanpa mempertanyakan bagaimana cara/kaifiyat istiwa’-Nya. Dan perlu diketahui bahwa penetapan sifat ini sama dengan penetapan seluruh sifat Alloh yang lainnya, yaitu harus berjalan di atas dasar penetapan sifat Alloh sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya tanpa ada penyerupaan sedikitpun dengan makhluk-Nya.

Dalil-Dalil As Sunnah
Adapun dalil-dalil dari As-Sunnah juga sangat banyak, di antaranya adalah sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Tidakkah kalian percaya padaku sedangkan aku adalah kepercayaan Yang berada di atas langit. Datang kepadaku wahyu dari langit di waktu pagi dan petang.” (HR. Bukhori-Muslim). Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Orang-orang yang penyayang akan disayangi oleh Yang Maha Rahman, sayangilah siapa saja yang ada di bumi niscaya kalian akan disayangi oleh Yang berada di atas langit.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Imam Al-Albani). Begitu pula dengan hadits pertanyaan Rosululloh kepada budak perempuan yang telah disebutkan di atas. Imam Adz-Dzahabi berkata setelah membawakan hadits budak perempuan di atas, “Demikianlah pendapat kami bahwa setiap orang yang ditanyakan di manakah Alloh, dia segera menjawab dengan fitrahnya, ‘Alloh di atas langit!’ Dan di dalam hadits ini ada dua perkara yang penting; Pertama disyariatkannya pertanyaan, ‘Dimana Alloh?’ Kedua, disyariatkannya jawaban yang ditanya, ‘Di atas langit’. Maka siapa yang mengingkari kedua perkara ini maka sesungguhnya dia mengingkari Al-Musthofa shollallohu ‘alaihi wa sallam“. (Mukhtashor Al-’Uluw)
Akan tetapi realita kaum muslimin sekarang amat sangat memprihatinkan. Pertanyaan ini justeru telah menjadi sesuatu yang ditertawakan dan jarang dipertanyakan oleh sebagian jama’ah-jama’ah dakwah di zaman ini? Ataukah justru pertanyaan ini telah menjadi bahan olok-olokan semata? Ataukah kaum muslimin sekarang ini telah memahami pentingnya berhukum dengan hukum yang diturunkan Alloh, meskipun mereka menyia-nyiakan hak Alloh? Maka kapankah Alloh akan mengizinkan untuk melepaskan, membebaskan dan memerdekakan kita dari orang-orang kafir yang menghinakan dan merendahkan kita sebagaimana telah dibebaskannya seorang wanita dari hinanya perbudakan setelah ia mengenal dimana Alloh?

Konsekuensi Jawaban Yang Keliru
Alangkah batilnya orang yang yang mengatakan bahwasanya Alloh berada di setiap tempat atau Alloh berada di mana-mana karena konsekuensinya menetapkan keberadaan Alloh di jalan-jalan, di pasar bahkan di tempat-tempat kotor dan berada di bawah makhluk-Nya. Kita katakan kepada mereka, “Maha Suci Alloh dari apa-apa yang mereka sifatkan.” (Al-Mu’minun: 91). Dan sama halnya juga dengan orang yang mengatakan bahwasanya Alloh ada dalam setiap diri kita (??) karena konsekuensinya Alloh itu banyak, sebanyak bilangan makhluk? Maka aqidah seperti ini lebih kufur daripada aqidahnya kaum Nashrani yang mengakui adanya tiga tuhan (trinitas). Lebih-lebih lagi mereka yang mengatakan bahwa Alloh tidak di atas, tidak di bawah, tidak di kanan, tidak di kiri, tidak di depan, tidak di belakang karena hal ini
berarti Alloh itu tidak ada (??) maka selama ini siapa Tuhan yang mereka sembah? Adapun orang yang “diam” dengan mengatakan, “Kami tidak tahu Dzat Alloh di atas ‘Arsy atau di bumi” mereka ini adalah orang-orang yang memelihara kebodohan. Karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah mensifatkan diri-Nya dengan sifat-sifat yang salah satunya adalah bahwa ia istiwa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy-Nya supaya kita mengetahui dan menetapkannya. Oleh karena itu “diam” darinya dengan ucapan “Kami tidak tahu” nyata-nyata telah berpaling dari maksud Alloh. Pantaslah jika Imam Abu Hanifah mengkafirkan orang yang berfaham demikian, tentunya setelah ditegakkan hujjah atas mereka.

Dalil Fitrah
Sebenarnya tanpa adanya dalil naqli tentang keber adaan Alloh di atas, fitrah kita sudah menunjukkan hal tersebut. Lihatlah jika manusia berdo’a khususnya apabila sedang tertimpa musibah, mereka menengadahkan wajah dan tangan ke langit sementara gerakan mata mereka ke atas mengikuti isyarat hatinya yang juga mengarah ke atas. Maka siapakah yang mengingkari fitrah ini kecuali mereka yang telah rusak fitrahnya? Bahkan seorang artis pun ketika ditanya tentang kapan dia mau menikah maka dia menjawab, “Kita serahkan pada Yang di atas!” Maka mengapa kita tidak menjawab pertanyaan “Dimana Alloh?” dengan fitrah kita? Dengan memperhatikan kenyataan ini, lalu mengapa kita lebih sibuk menyatukan suara kaum muslimin di kotak-kotak pemilihan umum sementara hati-hati mereka tidak disatukan di atas aqidah yang shahih? Bukankah persatuan jasmani tidak akan terwujud bilamana ikatan hati bercerai-berai? Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Kamu mengira mereka itu bersatu, padahal hati-hati mereka berpecah-belah.” (Al-Hasyr: 14). Hanya kepada Alloh-lah kita memohon perlindungan





2. Pendapat Kedua
Dimanakah Sebenarnya Allah ?
Dalam kutipan ayat-ayat kitab suci Al-qur'an sering disebutkan bahwa Allah bersemayam di atas 'Arsy dan Allah di langit. Selain itu masyarakat awam juga sering mengatakan Allah ada di mana-mana, hal ini bisa menimbulkan kesan bahwa Allah berpindah-pindah dan/atau lebih dari satu, padahal Dia bersifat Esa, Ghaibal Ghuyub dan Ghaibal Kubra.
Mengenai pemahaman apa itu sebenarnya 'Arsy dan "langit" ini, hendaknya kita harus lebih hati-hati dan teliti. Jangan sampai kita jatuh terjebak pada kebiasaan selama ini, sehingga tanpa tanpa kita sadari sebentar-sebentar dengan mudah dan cepat kita selalu mengatakan bahwa sesuatu (ini dan itu) adalah termasuk bid'ah hanya karena menurut kita sesuatu itu tidak ada contohnya dari Rasul SAW, yang mungkin saja hal ini disebabkan oleh keterbatasan informasi yang kita terima maupun pemahaman kita terhadap ayat-ayat Allah, Kalam Allah, dimana dalam memahamkannya hanya bersandarkan pada akal logika semata. Akan lebih baik bilamana kita ketahui dulu ilmunya secara kaffah (menyeluruh, lengkap) dan benar, jangan menafsirkan ayat sepotong-sepotong, namun suatu ayat harus dijelaskan oleh ayat yang lain (ayyatun mubayyinatun).
Bahwa istilah "langit" bukan hanya melukiskan alam fisik saja tetapi keseluruhannya, dari alam terendah sampai tertinggi, dari alam ghaib sampai alam maha ghaib. Istilah "langit" digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang ghaib, dan bukan melulu alam fisik.
Alqur'an di dalam mengungkapkan suatu masalah yang konkrit, misalnya hukum rajam, hukum jinayat, hukum waris, hukum syariat mu'amalat, dijelaskan dengan kalimat yang bukan majaz, yaitu muhkamat artinya sudah jelas, tidak perlu ditafsirkan lagi, seperti shalatlah kamu, bayarlah zakat, dst. Akan tetapi kalau sudah mencakup persoalan ghaib, misal: tentang Allah, rahasia langit, peralatan akherat, syurga, dan neraka, dll; serta perasaan, maka Alqur'an menggunakan kalimat perumpamaan (metafora), yang biasa disebut mutasyabihaat.
Ada kelemahan bahasa manusia jika mengungkapkan rasa dan sesuatu yang ghaib, sehingga Baginda Rasulullah SAW ketika menjelaskan masalah syurga-pun tidak menjelaskan keadaan sebenarnya. Beliau hanya memberikan gambaran bahwa syurga itu indah dan nikmat, di bawahnya ada air susu dan madu mengalir, ada buah-buahan, korma, anggur dll, setelah itu beliau memberikan penjelasan bahwa keadaan syurga itu tidak pernah terdengar oleh telinga, tidak bisa terbayangkan oleh pikiran, dan tidak pernah terlintas di hati. Artinya bukan seperti apa yang digambarkan oleh Rasulullah (lihat gambaran syurga antara lain dalam surat Yaasin ayat:55-57).
Bagaimana Rasulullah akan menjelaskan sesuatu, atau keadaan yang di dunia ini tidak ada. Bagaimana beliau akan memperbandingkan sesuatu yang tidak ada di dunia. Apa jadinya kalau syurga itu seperti apa yang telah kita bayangkan tadi? Mirip dengan apa yang kita rasakan? Hal ini juga terjadi kepada kita, ketika dihadapkan persoalan ungkapan rasa misalnya, hatiku telah bersemi lagi, atau mendidih rasa hatiku tatkala melihat dia, atau perampok itu tergolong pembunuh berdarah dingin; dan banyak lagi ungkapan rasa yang tidak tertampung dan terwakili oleh kosa kata bahasa verbal.
Sebagaimana rasa manis yang ada pada gula tidak bisa diceritakan kalau kita tidak mengalaminya sendiri mencicipi gula itu. Kalau kita mencoba menafsirkan ungkapan rasa itu dengan logika atau akal maka akan terjadi kesalahfahaman yang pasti akan menyimpang, sehingga wajarlah Rasulullah SAW tidak pernah menafsirkan atau memberikan keterangan hal tersebut berupa 'footnote' dalam Alqur'an, sebab para muridnya yaitu sahabat sudah mengerti maksudnya tanpa harus mencoba-coba menafsirkan sendiri. Misalnya lagi pada hal yang sangat sederhana ada orang berkata "Saya mau pergi ke rumah sakit" pasti kita tidak akan mengernyitkan mata karena bingung. Jangan ditafsirkan dengan mengatakan "rumah yang sakit".
Begitu pula tentang keberadaan Allah bahkan wujud Allah. Allah mempergunakan kalimat mutasyabihat dalam menerangkan keadaan diri-Nya, seperti dalam firman-firman-Nya:
"Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan matahari, bulan dan bintang-bintang tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam." (QS Al-Araf : 54)
" ... Allah adalah cahaya langit dan bumi" (QS. An Nur: 35)
" ... hai iblis apakah yang menghalangi kamu bersujud kepada yang telah Ku Ciptakan dengan kedua tangan-Ku ..." (QS. As Shaad:75)
"maka Allah menjadikannya tujuh langit dalam dua hari..." (QS. Al Fushilat 12)
"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah bahwasanya Aku ini dekat ..." (QS. Al Baqarah :186)
".. dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya" (QS. Qaaf:16)
" ... ingatlah bahwa sesungguhnya Dia maha meliputi segala sesuatu" (QS. Al Fushilat 54)
" ... kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah .. "(QS. Al Baqarah:115)
Sangat jelas bagi kita, bahwa ungkapan-ungkapan mutasyabihat di atas, dimengerti bukan untuk ditafsirkan, melainkan sebagai batasan fikiran melalui konsepsi manusia. Bukan hal yang sebenarnya, sebab Allah tidak bisa dibandingkan dengan sesuatu (QS. As syura: 11), bahwa Allah tidak bisa dilihat dengan mata manusia dan tidak bisa dijangkau oleh fikiran manusia.
Bukankah syirik, untuk memberikan tafsiran yang menggambarkan bahwa Allah memerlukan singgasana ('Arsy) dan juga seakan-akan Allah sesudah membuat langit dan bumi berserta isinya naik kembali ke tahta-Nya? Kalau Allah memerlukan singgasana ('Arsy) berarti Allah bertempat? Alangkah anehnya, jika dikatakan Allah dalam menciptakan iblis menggunakan kedua tangan-Nya, dan dikatakan Allah mempunyai wajah?
Allah mentasybihkan dan meminjam kata-kata yang dimiliki manusia untuk memudahkan berdialog dan memberikan pengertian dalam bentuk bahasa manusia dan ilmu, sebab kalau kita menterjemahkan dengan kata sebenarnya maka akan ada benturan-benturan yang saling bertentangan.
Kurang tepat bila dikatakan kalau Allah ada di mana-mana, walaupun difirmankan "....kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah". Juga tidak pula bisa dikatakan bahwa Allah berada di langit atas sana sehingga kita menunjuk ke arah atas atau ketika kita berdoa kita menengadahkan tangan kita ke atas sambil di benak kita beranggapan bahwa Allah seolah-olah ada di langit di atas nun jauh di sana. Sekali lagi kalau dikatakan Allah di langit di atas sana berarti Allah bertempat di langit dan kalau demikian jadinya berarti selain di langit apakah tidak ada Allah? Sehingga hakikat langit yang sebenarnya bukanlah berupa alam fisik, seperti dzan (persangkaan) kita selama ini. Dia maha meliputi segala sesuatu.
Lalu dimanakah Allah ?
Berdasarkan ilmu tauhid, aqoidul iman, Allah dikatakan adalah seru sekalian alam, meliputi segala sesuatu, karena tak ada sesuatupun yang tidak diliputi oleh-Nya, bahkan lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Lihat kembali QS. Al Baqarah : 186, QS. Qaaf:16, QS. Al Baqarah:115, dan QS. Al Fushilat 54 di atas. Ketertutupan atau terhijabnya hati kita atas keberadaan Allah disebabkan ketidaktahuan dan sangkaan (dzan) kita akan Allah yang keliru. Hijab adalah tirai penutup, di dalam ilmu tasawuf biasa disebut sebagai penghalang lajunya jiwa menuju Khaliknya. Hati tidak mampu melihat kebenaran yang datang dari Allah. Nur Allah yang ada di dalam dada tidak bisa ditangkap dengan pasti. Dengan demikian manusia seolah-olah akan selalu merasa berada jauh dari Allah, kita di bumi dan Allah di atas langit, dalam keragu-raguan atau was-was.
Mudah-mudahan kita diberi kefahaman atas ilmu-ilmu-Nya yang tersembunyi maknanya. Amiin.



Pilih yang mana?
Terserah anda.....!!!

Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO