Featured Posts

Cash-Out Refinance For many, their homes are just not dwellings that protect them against rain, sun, and wind. But they are piggy banks, which can be used to raise some urgent money, even if the home still lays collateral...

Read more

Palm’s latest model, new handheld in a long time. Palm’s latest model, the TX, is its most ambitious new handheld in a long time. This isn’t because it’s full of cutting-edge features. It certainly is not. However, very few mid-range models have...

Read more

An image in a post Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Quisque sed felis. Aliquam sit amet felis. Mauris semper, velit semper laoreet dictum, quam diam dictum urna, nec placerat elit nisl in quam. Etiam...

Read more

Home Purchase Loan We all dream to own a home, at some point in our lives. In fact, this is a major driving force or one of the goals we have ahead while working day and night and saving a good share of the earnings every...

Read more

Rabu, 22 September 2010

करना Allah

Segala puji bagi Allah, Tuhan yang maha satu, yang maha gagah, yang maha perkasa, maha memberi ampunan, yang kuasa mengubah perkara, yang mampu membolak-balikkan hati, yang menguasai takdir susah & senang, yang maha memberi pelajaran & hikmah.

Dialah yang membukakan pandangan hati orang yang dicintai-Nya, maka dijadikanlah mereka bersifat zuhud, sabar & ridlo terhadap seluruh peristiwa yang baik maupun buruk, sesungguhnya semua kejadian yang menimpa adalah merupakan takdir ketetapan Allah yang merupakan salah satu rukun iman yang wajib kita imani (jika kamu bersabar ketetapan Allah tetap berjalan dan kamu akan mendapatkan pahala, tetapi jika mendedam mendengki,maka ketetapan Allah tetap terjadi dan kamu mendapat dosa dan kesusahan). Mereka bersungguh-sungguh mencari keridloan Allah, menjauhi larangan Allah, bersungguh-sungguh menaati Allah serta selalu bersyukur bertasbih dan memuji Allah saat berbaring duduk berdiri dan berjalan hingga hati mereka bersih tulus bersinar dan dipenuhi cahaya cinta Ilahi.

Adalah sebuah awal yang indah dan bersih sebagai fitrah pada mulanya makhluk yang namanya manusia diciptakan kemudian Allah mengilhamkan manusia dengan dua jalan yaitu jalan fujur (rusak, sesat & durhaka) dan jalan taqwa. Manusia adalah makhluk yang lemah mudah lupa, tergesa-gesa lagi mudah putus asa dan kemudian Allah memberikan rahmat untuk mengampuni dosa dan kesalahan hamba-Nya, menunjuki jalan keluar serta memudahkan perbaikan hamba-Nya bagi yang sungguh-sungguh bertaubat bertaqwa dan bertawakal. Semua manusia memiliki kekurangan & kesalahan maka bersabar atas apa yang menimpa adalah sebaik-baik perkara, bersyukur terhadap apa yang ada adalah akhlak mulia, memaafkan kesalahan orang adalah amat dicintai disisi Allah.

Bersyukur itu membutuhkan ketabahan ingatlah selalu ni’mat yang telah diberikan Allah kepada kita seperti anggota tubuh yang lengkap, kesehatan, hidayah iman, anak-anak kita, dan banyak kemudahan serta rizki yang telah diberikan niscaya kita mudah bersyukur, bersabar terhadap apa yang menimpa, dan mudah memaafkan kesalahan orang.

Ketika Al-Hasan dan Al-Husein jatuh sakit, Fatimah binti Muhammad s.a.w. dan suaminya Ali bin Abitholib bernazar untuk puasa tiga hari. Pada saat melaksanakan puasa tersebut, tahulah Fatimah bahwa dirumah tidak ada makanan buat berbuka. Ali suaminya mengambil bulu domba dari seorang yahudi untuk dipintal dngan upah tiga gantang gandum. Hari pertama Fatimah menyelesaikan sepertiga pekerjaannya dan ia memperoleh satu gantang gandum lalu dimasak menjadi lima potong roti.

Tepat ketika mau berbuka, seorang miskin berdiri dipintu rumah,’Wahai keluarga Muhammad, aku ini orang Islam yang miskin, berilah makan padaku, semoga Allah menjamu kalian kelak dengan hidangan surga.’

Fatimapun menyerahkan makanan dan menghabiskan malam bersama keluarganya dalam keadaan lapar. Pada hari kedua dan ketiga terjadi lagi peristiwa yang sama hanya kali ini yang muncul minta tolong adalah tawanan muslim dan anak yatim. Sudah tiga hari tiga malam keluarga ini hanya kemasukan air dan mereka jalani dengan penuh rasa syukur dan ridlo terhadap ketetapan Rabb pemeliharanya.

Ketika Ali membawa Al-Hasan dan Al-Husein menemui Rasulullah SAW. Nabi melihat kedua cucunya gemetar karena kelaparan, seperti dua ekor burung kecil yang basah gemetar kedinginan. ’” Hai Abul Hasan’” rasul menyapa Ali ,’Aku sedih sekali melihat kalian, marilah kita temui Fatimah”’ karena saat itu Rasulullah pun tidak ada makanan padanya. Nabi SAW pun menemui Fatimah di mushala rumah Fatimah yang keadaannya kurus kering matanya cekung. Nabi segera memeluk putri kesayangannya seraya berdo’a ,” Ya Allah tolonglah keluarga Muhammad yang hampir kelaparan ini,”

Waktu itu turunlah firman Allah surat Al Insan ayat 5-12 bahwa Allah kelak akan menjamu mereka di surga. Maka legalah mereka semua kemudian tersungkur sujud memuji Tuhannya.

Mereka penuhi nazar takut akan datangnya hari yang azabnya sangat pedih. Mereka memberikan makanan yang sangat mereka butuhkan bukan sekedar sisa kelebihan keluarga kepada orang miskin yatim dan tawanan seraya berkata ,” Kami berikan kalian makanan hanya karena mengharap ridha Allah SWT, Kami tidak mengharap balasan dari kalian, tidak pula ucapan terimakasih”. Maka Allah meridhai mereka sekeluarga amin.

Sungguh keluarga kita belum pernah mengalami penderitaan seperti diatas tetapi sudah banyak mengeluh, menggerutu dalam menuntut suatu kebahagiaan dunia. Maka ni’mat Tuhanmu yang manakah yang akan kau ingkari lihatlah pelajaran dari Rabb dalam surat Ar-Rahman.

Kebiasaan buruk, amarah dendam hasad dengki, kedurhakaan dan kelalaian berdzikir kepada Allah akan menyebabkan banyak kesempitan dalam dada kita, ketidaknyamanan hidup, hidayah menipis, cara pandang tidak benar, kebenaran tertutup, hati rusak, waktu terbuang sia-sia, hati jauh dari Allah, doa tidak didengar, hati mengeras, jauh dari barokah, keluarga menjadi tidak sakinah dan dijauhkan dari rahmat, anak cucu semakin jauh dari hidayah, kehidupan menjadi sengsara, perasaan perih terus menghimpit kita. Sedangkan hal-hal yang merupakan kebalikan dari itu semua terlahir dari ketaatan dan ketabahan, bersabar dan selalu memohon ampunan Allah.

Sedangkan dampak dari istighfar dalam mengusir keresahan, kegundahan dan kesempitan akan dapat kita rasakan dengan sejuk dan ni’mat manakala diikuti dengan perbaikan perilaku hasanah memaafkan kesalahan orang lain dan membalas keburukan dengan kebaikan yang semata-mata ditujukan kepada Allah semata tanpa pamrih. Kedurhakaan, prasangka buruk, kema’siatan akan merusak pikiran kita yang lurus dan menjadikan kesulitan dalam hidup kita. Cara yang paling ampuh untuk mengurangi beban pikiran itu hanyalah BERSYUKUR, BERSHABAR, TAUBAT DAN PERBANYAK ISTIGHFAR.

Terhadap kaum wanita Allah memerintahkan kepada kita :

(Dan, bergaullah dengan mereka secara patut) (QS. An-Nisa:19)

(Dan, Dia menjadikan diantara kamu rasa kasih sayang) (QS. Ar-Rum:21)

Rasulullah bersabda ,”Perlakukanlah kaum wanita itu dengan baik, sebab mereka adalah yang membantu kalian”

Dalam Hadits yang lain rasul bersabda ,”Orang yang paling baik diantara kalian adalah yang paling baik bagi keluarganya, dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku”.

Rumah yang paling baik adalah rumah yang dibangun diatas rasa saling mencintai, bukankah dulu pada awalnya rumahtangga bapak dibangun atas rasa cinta? Dan hasilnya bahagia, adapun sekarang ada masalah itulah sebagai suratan taqdir dan ujian bagi kita semua. Menyelesaikan masalah dengan landasan cinta kebersamaan dan ketaatan insya Allah akan membawa keberkahan bagi semua, cobalah untuk memulai dari awal lagi. Lupakan semua keburukan dan lihatlah hal yang baik yang dipunyai pasangan kita.

Banyaknya masalah masalah yang berujung perpisahan suami istri semuanya muncul dan berawal dari kesalahan & kealpaan dalam berdzikir bertadabur Al-Qur’an dan ketaatan dalam menjalankan syari’at Allah & rasul. Dan siapakah yang paling bertanggung jawab terhadap kerapuhan 7 kealpaan keluarga? Suami dan istri berperan andil dalam kerusakan yang ada an tentunya nahkoda keluarga memiliki tanggungjawab terbesar. Selagi Allah masih memberikan kesempatan kepada kita untuk bertaubat dan memperbaiki keadaan maka bersegera melakukan perbaikan adalah hal yang wajib diutamakan sebelum maut menjemput.

Kita adalah manusia yang bisa marah, bisa bersikap keras, bisa lemah dan bisa salah. Yang harus kita lakukan adalah menanamkan konsep relativitas didalam mencari keseimbangan hubungan suami istri, saling memaklumi kekurangan pasangan dan lihatlah kebaikan yang ada padanya, agar bisa menjalani kehidupan yang sangat singkat ini dengan damai dan berkah.

Berikan tanggapan yang baik dan tulus serta berikan kesempatan pada pasangan untuk bertobat pada pasangan yang berlaku dholim insyaAllah akan mendatangkan manfaat yang baik dunia dan akhirat bagi kita dan pasangan kita. Tanda kebahagiaannya adalah ketika pelaku kedholiman menyadari dosa & aib yang ada pada dirinya. Maka pasangan yang berlaku kedholiman akan terfokus bagaimana cara melebur dosa, dan melakukan perbaikan terhadap kerusakan yang terjadi. Apabila dia bersungguh-sungguh, tentulah Allah akan membantunya dan menjaganya. Sungguh keluarga yang demikian akan bahagia dan rahmat keberkahan akan terlimpah kepada seluruh anggota keluarga, insyaallah, namun demikian taufiq hidayah tetap ditangan Allah semata. Dan bukan sembarang orang yang bisa mendapat keberuntungan seperti itu, bukan sembarang orang bisa mengetahui dan mampu melakukannya, semoga bapak dan ibu mau mencoba melakukan perubahan yang baik ditunjuki dan mendapat pertolongan Allah dalam urusan AGAMA DUNIA dan AKHIRAT AMIN.

Maha suci Dzat yang maha mengampuni walau kita berbuat salah, dan tetap mengampuni walau hamba selalu berlaku salah, selama hamba tidak mempersekutukan Allah dan mau memohon ampunannya serta mau memperbaiki diri.

Wallahu a’lam bissawwab mohon maaf atas segala kekhilafan, pertolongan datangnya dari Allah dan kemenangan itu dekat bagi orang yang bertaqwa dan bertawakal kepada Allah.

Salam hormat dan sayang kami kepada seluruh keluarga muslim di seluruh bumi Allah SWT. Semoga kita semua selalu berada dalam lindungan, ampunan, hidayah, rahmat dan keberkahan.
Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Allah Mengilhamkan Jalan Fujur dan Taqwa

Fir’aun itu sukses dalam pembangunan fisik tetapi dia terkutuk dan hancur karena kesombongannya serta ditenggelamkan di lautan, demikian pula Qorun sukses secara ekonomi tetapi dia binasa karena kesombongan dan kekikirannya hingga dia ditenggelamkan ke dalam bumi beserta harta bendanya. Qur’an dan sunah rasul menuntun manusia untuk meraih sukses yang hakiki tanpa mengandung mudharat sedikitpun bahkan diliputi rahmat dan keberkahan. Urusan terpenting kita adalah menjadi manusia yang menjalani kehidupan berpedoman kepada Qur’an dan sunah, dan itu semua dapat hanya dengan bekal keilmuan dan kefahaman. Anak-anak pinggiranpun memiliki haq untuk menempuh jalan ini.



“dan (ingatlah)ketika tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ mereka menjawab:’benar (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi’. (kami lakukan yang demikian itu) agar dihari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)’. (QS.7:172).

“...Kehidupan dunia telah telah menipu mereka. Dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri bahwa mereka adalah orang-orang kafir.”(QS.8:130)

“(Allah bersumpah dengan ciptaannya)dan demi jiwa serta penyempurnaan ciptaannya. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan kedurhakaan dan jalan ketaqwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. (QS.91:7-10)

Sebelum roh ditiupkan kedalam setiap tubuh manusia maka Allah telah membekali keilmuan untuk mengenal tuhannya. Setelah jiwa itu menyaksikan bahwa Allah adalah satu-satunya tuhan maka kemudian jiwa ditiupkan kedalam janin ketika berusia empat bulan di dalam rahim ibu. Sehingga semua manusia dilahirkan dalam keadan suci, sebagai fitrahnya semua jiwa bertauhid menyembah Allah saja. Kemudian manusia menjalani kehidupan dunia disertai dengan hawa nafsu dan musuh besarnya yaitu syaithon yang selalu mengajak kejalan kemungkaran. Ada manusia yang tetap istiqomah dijalan yang diridloi Allah SWT dan ada pula yang mengikuti langkah syaithon menuju kepada kebinasaan abadi, mereka tertipu oleh kehidupan dunia. Allah menurunkan rahmatNya kepada semesta alam dengan menurunkan Al Qur’an sebagai petunjuk menuju kemuliaan dan mengutus nabiyullah Muhammad saw sebagai panutan sauri tauladan sehingga manusia tidak terjerumus kedalam kesulitan dan kesengsaraan.

Allah mengilhamkan manusia dengan dua jalan yaitu jalan fujur (rusak, sesat & durhaka) dan jalan taqwa. Manusia adalah makhluk yang lemah mudah lupa, tergesa-gesa lagi mudah putus asa dan kemudian Allah memberikan rahmat untuk mengampuni dosa dan kesalahan hamba-Nya, menunjuki jalan keluar serta memudahkan perbaikan hamba-Nya bagi yang sungguh-sungguh bertaubat bertaqwa dan bertawakal. Semua manusia memiliki kekurangan & kesalahan maka bersabar atas apa yang menimpa adalah sebaik-baik perkara, bersyukur terhadap apa yang ada adalah akhlak mulia, memaafkan kesalahan orang adalah amat dicintai disisi Allah.

Semua orang memiliki potensi untuk meraih kesuksesan dan menjadi manusia yang baik. Sukses dan baik bukanlah diukur menurut persangkaan hawa nafsu tetapi sukses dan baik itu diukur menurut kadar yang haq yaitu kitabullah dan sunah rasul. Fir’aun itu sukses dalam pembangunan fisik tetapi dia terkutuk dan hancur karena kesombongannya serta ditenggelamkan di lautan, demikian pula Qorun sukses secara ekonomi tetapi dia binasa karena kesombongan dan kekikirannya hingga dia ditenggelamkan ke dalam bumi beserta harta bendanya. Qur’an dan sunah rasul menuntun manusia untuk meraih sukses yang hakiki tanpa mengandung mudharat sedikitpun bahkan diliputi rahmat dan keberkahan. Urusan terpenting kita adalah menjadi manusia yang menjalani kehidupan berpedoman kepada Qur’an dan sunah, dan itu semua dapat terwujud hanya dengan bekal keilmuan dan kefahaman. Anak-anak pinggiranpun memiliki haq untuk menempuh jalan ini.

Allah selalu menolong hambaNya selama dia mau menolong saudaranya. Apabila membantu pendidikan anak pinggiran sehingga mereka bisa menjadi hamba Allah yang sholeh dan bermanfaat maka kita telah menolong diri kita sendiri dari kesulitan yang teramat besar. Kesesatan diawali dari kebodohan, kemudian kebodohan itu mendorong manusia untuk sombong, tidak mengenal akhlak yang mulia, berlaku mungkar dan membuat kerusakan di muka bumi serta orang yang bodoh mudah sekali tertipu oleh ajakan syaithon. Maka sesungguhnya kebodohan itu adalah musuh besar orang-orang yang beriman dan harus diperangi bersama-sama secara terorganisir. Sebagaimana Allah mencintai orang-orang yang berjuang di jalan Allah secara teratur tertata dalam barisan rapi seakan-akan seperti bangunan yang rapi dan kokoh. Berhimpun bersama untuk memikirkan pendidikan anak pinggiran adalah salah satu kesempatan untuk berada dalam barisan perjuangan di jalan kebaikan. semoga mendatangkan keberkahan bagi kita semua, Wallahu a'lam bissawwab.
Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Manusia Pilihan

Malam itu kebetulan ia pulang agak larut. Beberapa kali ia mengetuk pintu tapi tidak juga dibukakan. Akhirnya ia merebahkan tubuh di depan pintu berselimutkan udara malam. Menjelang Subuh, ia terjaga saat istrinya membuka pintu. Apakah ia kemudian memarahi sang istri yang membiarkannya semalam kedinginan?Ternyata tidak, justru ia minta maaf atas keterlambatannya.

Kecantikan istrinya, bukanlah penyebab ia tidak marah. Ia memang dikenal sebagai lelaki yang menghormati kaum Hawa. Baginya karakteristik fisik dan psikis mereka yang lemah adalah untuk dilindungi bukan untuk ditindas dan dilecehkan.

Laki-laki tampan itu lahir dalam keadaan yatim. Pada usia enam tahun, keprihatinannya semakin lengkap setelah sang ibu tercinta wafat. Kelembutan hati yang terlatih sejak belia mengantarkannya sebagai sosok yang datang sebagai pembebas kaum lemah. Ia juga berhasil membebaskan umat manusia dari paganisme seperti yang dialami masyarakat jahiliyah kuno dan andai kita benar-benar mengikuti ajarannya, niscaya juga terbebas dari budaya jahiliyah modern yang menuhankan akal dan materi.

Ia adalah seorang panglima perang yang amat disegani teman maupun lawan. Namun kedudukan tinggi tidak menjadikannya melupakan posisinya sebagai seorang ayah dan suami yang dinanti kasih sayangnya. Kecintaan terhadap buah hati juga tidak menghalanginya menegakkan keadilan.

Kalau kebetulan Anda berbeda keyakinan atau agama dengannya, Anda tidak perlu merasa cemas. Agamanya amatlah toleran sehingga Anda dapat hidup dengan aman tanpa sedikitpun teror mengancam. Adapun belakangan para pengikutnya yang bersikap lain mungkin karena kurang mengenal panutan mereka yang mulia ini.

Demikian pula bagi Anda yang belum lama memeluk agamanya, atau belum bisa secara kaffah dalam mengamalkan ajarannya. Ia tidak gegabah mengklaim Anda telah keluar dari agamanya. Karena hal tersebut adalah urusan Anda dengan Allah. Selama Anda mengikrarkan bahwa Allah sebagai satu-satuya tuhan yang berhak untuk disembah dan ia sebagai utusanNya, maka jiwa, harta, dan kehormatan Anda telah terjamin.

Anda tentu sudah dapat siapa yang sedang kita rasani dalam tulisan ini. Beliau tak lain dan tak bukan adalah Baginda Muhammad SAW. Nabi yang kebetulan bulan ini kita peringati kelahiran sekaligus mangkatnya. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya di bulan Rabiul Awwal berbagai kemasan acara kita gelar untuk memperingatinya. Pengajian, sholawatan, pembacaan maulud maupun sirahnya, dan berbagai macam acara lain. Akan tetapi dapat kita lihat pula seolah semua itu hanyalah rutinitas yang hanya begitu-begitu saja.

Ketika kita mendengar pembacaan kisah beliau, kita mungkin akan terkagum-kagum, terharu dan seolah semangat keberagamaan kita meningkat saat itu juga . Akan tetapi seringnya hal itu tidak berlangsung lama, Orang Jawa mengistilahkannya “bungentuwo “, mlebu kuping tengen metu kuping kiwa (masuk telinga kanan langsung keluar lewat telinga kiri )tanpa mampir dan membekas dihati.

Sering pula kita mendengar saudara kita atau bahkan kita sendiri ketika dianjurkan untuk mencontoh akhlak beliau yang mulia kita berdalih, “Lho, saya kan bukan nabi , manusia pilihan yang maksum terjaga dari dosa.” Dan kemudian ketika dialihkan kepada keteladanan para sahabat masih ada saja jawaban, “Mereka kan pernah hidup pada masa Nabi, ibarat air gunung yang jernih karena masih dekat dengan mata air, sedangkan kita sudah begitu jauh dari mata air, sehingga wajar kalau keruh.”

Begitulah kita ada saja dalih yang kita sampaikan. Kita sering lupa bahwa nabi yang terjaga dari dosa begitu bersemangat dalam menegakkan malam-malamnya , mengisi dengan ibadah hingga kakinya bengkak. Penderitaan kita sangatlah berat bagi beliau, hingga beliau berderai airmata karenanya. Beliau adalah manusia yang membutuhkan tidur, namun ketika bangun tidur tampaklah bekas tikar kasar pada kulitnya. Beliau terbiasa tidak makan selama tiga hari. Beliau mengganjal perut dengan batu untuk menghilangkan lapar. Jadi beliau memanglah manusia yang diciptakan untuk dicontoh bukan sekedar dongeng ataupun kebanggaan umat. Kalaupun kita merasa bagai air yang sudah amat keruh karena begitu jauh jarak kita dengan Sang mata air, tidakkah kita merindukan dan mengupayakan kejernihan? Billahit Taufik Wal Hidayah

sumber:harian jogja
Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Etika surgawi

Di dalam bahasa Alkitab, etika surgawi disebut juga sebagai tahbisan dan itu merupakan suatu aturan etika yang berlakunya ditetapkan dan diresmikan oleh Allah. Ada yang disebut sebagai tahbisan nikah surgawi yaitu suatu etika dalam hubungan nikah dan kekeluargaan menurut aturan Allah.

Di zaman ini banyak keluarga-keluarga Kristen yang hidup menyimpang dari etika surgawi, sehingga menimbulkan banyak masalah. Tanpa etika surgawi keluarga akan kacau, tidak memiliki tatanan, tanpa hirarki dan akibatnya suasana akan menjadi panas.

Ingatlah pada nas berikut Hai isteri tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri, sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu. ( Efesus 5; 22-24 )

Dalam hidup nikah surgawi, Allah telah meresmikan dan menetapkan suatu hirarki supaya tercipta ketertiban. Keluarga adalah suatu cermin kecil dari suatu pemerintahan besar. Oleh
karenanya, keluarga yang hidup dalam etika dan tahbisan yang benar menurut pola surgawi adalah cermin dari Kerajaan Allah.

Seperti tertulis dalam Efesus 5, maka seorang suami bagi istri, dan bapak bagi anak- anak adalah seorang raja dalam suatu kerajaan kecil yang disebut keluarga. Kemudian istri, orang terdekat dari suami adalah permaisuri bagi raja.

Kemudian anggota-anggota keluarga yang lain adalah pejabat-pejabat yang masing-masing memiliki tugas dan hak tersendiri. Tuhan menghendaki supaya ada ciri dan teladan Kerajaan Surga. Allah menghendaki keluarga-keluarga Kristen menjadi miniatur dari Kerajaan Surga. Keluarga menjadi Surga Kecilyang turun ke bumi seperti doa Tuhan Yesus.

Agar kerajaan keluarga bercirikan Kerajaan Surga maka harus ada hirarki dan etika berkeluarga. Seorang bapak atau suami adalah Sang Raja yang patut untuk dilayani, dihormati. Namun dalam kedudukan ini dia juga memikul tanggung jawab yang berat untuk keselamatan segenap anggota keluarga. Mampu menjadi pelindung dan pengayom bagi keluarga. Inilah posisi sebagai suami menurut Efesus 5; 22-33.

Dalam keluarga ada pula istri yang berkedudukan sebagai permaisuri. Dia juga memiliki hak dan tanggung jawab khusus sebagai seorang permaisuri yang tidak bisa digantikan oleh orang lain.

Etika kurang tepat Oleh karena muslihat Iblis,zaman sekarang banyak keluarga yang hidup tanpa tahbisan atau etika. Hidup berkeluarga tidak menurut hierarki dan etika Alkitab. Akhirnya keluarga rusak dan kacau bagaikan suasananeraka. Ini semua akibat dari posisi- posisi jabatan/tahbisan yang ditentukan Allah dikacaukan dan dilanggar.

Misalnya seorang istri yang mengambil tempatnya suami. Mungkin dalam penglihatan sepintas, keluarga semacam ini berjalan juga. Namun di balik itu sesungguhnya keluarga itu mengalami kegagalan, karena berjalan tidak sebagaimana mestinya.

Salah satu sisi negatif dari penjungkirbalikkan tahbisan ini adalah timbulnya kejahatan-kejahatan. Bila direnungkan ternyata sangat banyak kejahatan yang terjadi karena kesalahan tahbisan.
Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Memaknai Cobaan Hidup

Hakikat kehidupan adalah medan ujian dan cobaan untuk membuktikan kualitas amal manusia di hadapan Tuhannya. Ini merupakan ketentuan yang berlaku sepanjang kehidupan dunia berlangsung. Perhatikanlah firman Allah SWT berikut ini:

"Allah yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kamu, siapa yang paling baik amalnya?" (QS. al-Mulk/67:2)

"Dan sungguh, Kami akan berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan "innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun" (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kami pasti akan kembali kepadaNya)." (Qs. al-Baqarah/2:155-156)

Kesadaran akan hakikat dunia sebagai medan ujian pembuktian amal manusia di hadapan Allah SWT dan bahwa cobaan hidup adalah ketentuanNya yang pasti Dia berlakukan kepada hamba-hambaNya, penting kita miliki sehingga mampu menghadapi semua cobaan itu dengan kesabaran. Adakalanya cobaan tersebut berupa kejadian yang menyakitkan dan penderitaan, namun tidak jarang cobaan itu juga berupa hal-hal yang secara umum difahami sebagai sesuatu yang menyenangkan dan membahagiakan. Nabi Sulaiman adalah tipe manusia yang diberi cobaan hidup berupa kekayaan dan kekuasaan dan sukses menyikapinya dengan kualitas amal terbaik sebagai hamba Allah : bersyukur!

"Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia pun berkata, 'Ini adalah karunia Tuhanku untuk mencoba aku, apakah aku bersyukur atau malah mengingkari nikmatNya? Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya ia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia’." (QS. an-Naml/27:40)

Sikap yang berbeda tampak pada Qarun yang juga mendapatkan cobaan berupa kekayaan. Ia merasa mampu melakukan segalanya dengan hartanya dan menolak perintah Tuhannya. Ia rendahkan manusia karena merasa mulia dengan kekayaannya. Ibadah ia tinggalkan, peringatan kebaikan ia abaikan. Harta telah membutakan mata hatinya.

Tanpa disadarinya, harta telah dipertuhankannya. Ya, ia telah menjadi hamba harta, bukan hamba Tuhannya, Allah SWT. Maka Allah SWT menghinakannya. Ia ditelan bumi hingga binasa bersama tumpukan hartanya. Simaklah kisah Qarun ini dalam al-Qur’an surat al-Qashash ayat 76 sampai 84.

Model manusia lain yang juga diungkap oleh al-Qur’an adalah Fir’aun. Ia mewakili model manusia yang diberi cobaan berupa kekuasaan yang tinggi, namun kesombongan lah yang lebih mengemuka hingga ia pun binasa karenanya.

Allah SWT menenggelamkannya ke dalam samudera. Musnah sudah kekuasaannya yang tidak seberapa dibanding kekuasaanNya. Perhatikan kisah kejatuhan Fir’aun dari kekuasaannya akibat kesombongannya sendiri dalam surat al-Qashash ayat 38 sampai 42 dan surat Yunus ayat 90 sampai 92.

Makna Cobaan Hidup
Bukan peristiwa yang menentukan kualitas kemanusiaan kita di hadapan Allah SWT, namun kemampuan memaknainya secara positif dan menindaklanjutinya dengan ketaatan kepadaNya-lah yang akan menentukannya. Pemaknaan yang positif akan membuahkan sikap dan perilaku yang positif, begitu pula sebaliknya, pemaknaan secara negatif terhadap berbagai peristiwa hanya akan melahirkan sikap dan perilaku yang negatif pula.

Sebuah keberuntungan jika kita mampu memaknai setiap peristiwa dan kejadian secara positif, dan hanya kerugian saja jika sudut pandang negatif semata yang kita gunakan untuk memaknainya. Pemaknaan positif akan mengajarkan kita untuk melihat berbagai kesulitan hidup sebagai tantangan dan peluang untuk memperoleh kemuliaan.

Sedangkan pemaknaan yang negatif akan mengajarkan kita untuk melihat beragam kesulitan hidup tersebut sebagai kesialan dan kegagalan hingga menenggelamkan kita dalam kehinaan. Menarik sekali komentar yang dikemukakan oleh Asy-Syahid Sayyid Quthb rahimahullah tatkala menafsirkan ayat 155-156 surat al-Baqarah dalam kitab Tafsirnya Fii Zhilaalil Qur’aan:

"...Semakin berat ujian dan pengorbanan akan semakin meninggikan nilai akidah keyakinan dalam hati dan jiwa penganutnya. Bahkan makin besar penderitaan dan pengorbanan yang diminta oleh suatu akidah, bertambah berat juga seseorang untuk berkhianat atau meninggalkannya. Yang terpenting dari pelajaran di atas adalah kembalinya kita mengingat Allah ketika menghadapi segala keraguan dan kegoncangan, serta berusaha mengosongkan hati dari segala hal kecuali ditujukan semata kepada Allah. Kemudian, agar terbuka hati kita bahwa tidak ada kekuatan kecuali kekuatan Allah, tidak ada daya kecuali daya Allah, dan tidak ada keinginan kecuali keinginan mengabdi kepada Allah. Ketika itu, akan bertemulah ruh dengan sebuah hakikat yang menjadi landasan tegaknya tashawwur (pandangan) yang benar."

Uraian di atas saya kira cukup menjelaskan bahwa berbagai cobaan hidup sesungguhnya akan mengajarkan kita banyak hal, betapa kekuasaan Allah SWT mutlak sehingga manusia terbebas dari penyakit kesombongan yang akan membinasakan dirinya, bersandar semata kepada Allah SWT dan tidak kepada dunia yang sesungguhnya begitu lemah dan pasti akan musnah.

Cobaan hidup juga menjadikan kita mengoreksi perbuatan yang telah kita lakukan sehingga kita bisa memperbaikinya, menyadarkan kesalahan yang telah kita lakukan sehingga kita kembali ke jalan hidup yang benar, cobaan hidup juga akan menempa jiwa dan hati kita sehingga keimanan di dalamnya semakin kokoh yang memampukan kita untuk bersabar menghadapi segala tantangan kehidupan yang menghadang hingga meningkat kualitas kemanusiaan dan penghambaan diri kita dihadapan Allah SWT.

Walloohu a’lam bishshowwaab
sumber:harian jogja
Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Menjaga Kesucian Diri

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan diri. Dan Sungguh rugi orang yang mengotorinya” (Asy-Syams: 9 – 10).

Sangat Sering kita menyaksikan berita korupsi yang tayang di televisi maupun dimuat dalam surat kabar. Mungkin saat ini sudah menjadi rutinitas kita setiap hari. Terutama penikmat berita. Berbagai kejahatan korupsi dikupas dan dibahas diberbagai berita. Dari yang jutaaan hingga puluhan milyar. Dari yang kecil – kecilan hingga bergelar mega korupsi. Silih berganti terjadi setiap hari, hingga kita pun semakin biasa menyaksikannya. Semakin tidak sensitif.

Korupsi tak lain adalah pencurian atau perampokan. Namun terkesan tak bernilai sebuah kejahatan dan lebih bisa “dimaklumi”. Makanya tak heran, kita melihat pencuri dompet atau maling ayam yang tertangkap basah, kelihatan lebih berdosa dan bagaikan pesakitan dibandingkan dengan pengemplang uang rakyat milyaran yang tampil elegan, berdasi, dan lengkap dengan wajah tanpa dosanya (innocent).

Mungkin bagi yang masih sensitif geram menyaksikannya. Tanpa sadar kita bisa mengumpatnya dengan nada prihatin, marah atau geram. Tapi sudahkah kita sensitif dengan berbagai remeh temeh korupsi kecil – kecilan yang mungkin kerap tanpa sadar kita lakukan. Sebuah tindakan yang terkadang kita bingung, apakah ini boleh atau tidak, halal atau haram.

Menggunakan telepon kantor untuk sekedar menelpon keluarga di rumah apakah termasuk korupsi…? Mungkin bukan korupsi, tapi bisa juga korupsi. Setiap orang bekerja, selalu disertai dengan hak dan kewajiban. Apabila dalam kontrak atau surat perjanjian kerja kita tidak tercantum, bahwa menggunakan telepon kantor adalah bagian dari hak atau fasilitas, tentu saja ini sudah mengarah pada korupsi. Atau setidaknya diragukan.

Adalah Umar bin Abdul Azis, yang disebut – sebut sebagai Khulafaur Rasyidin kelima, ketika menjadi khalifah, sangat berhati – hati dalam menggunakan fasilitas negara untuk kepentingannya dan keluarganya. Suatu malam saat sang khalifah sedang mengerjakan tugasnya sebagai pemimpin negara, datang sang anak untuk menanyakan urusan pribadinya. Serta merta sang Khalifah yang sangat wara’ ini, mematikan lampu, dan menggantinya dengan lampu yang lain. Sang anak sangat terkejut, dan dengan penasaran langsung bertanya. “wahai ayah, kenapa engkau matikan lampunya…? Dengan tegas Umar bin Abdul Azis menjawab. “saat ini aku sedang mengurusi urusan pribadi dan keluargaku, dan aku tidak mau memakai fasilitas Negara!”

Begitulah Umar bin Abdul Azis. Dan mungkin sangat sulit kita temukan kembali pemimpin seperti itu. Pemimpin yang senantiasa menjaga kesucian dirinya dengan bersikap hati – hati (wara’). Saat ini kita selalu dijejali pemimpin yang mencari untung untuk kepentingan pribadinya. Pemimpin yang bertabur fasilitas negara yang tanpa ragu juga digunakan untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Bahkan tak sedikit yang dengan sengaja mencari dan menumpuk harta dengan cara memanfaatkan jabatannya. Dari korupsi yang terang – terangan dan kelas kakap dengan nilai milyaran, korupsi samar – samar dengan bahasa halus seperti uang pelicin, uang jalan, atau upeti. Atau mungkin korupsi yang tanpa sadar kita lakukan dengan tenang seperti memakai fasilitas kantor tanpa hak yang jelas dan tegas seperti diungkap di atas.

Saat ini memang jaman yang sangat sulit untuk membedakan antara yang hak dan yang batil. Korupsi bisa bernilai bisnis sampingan atau proyek. Bahkan, para aparat atau oknum pemerintah tidak akan asing dengan bahasa cari obyekan. Jika demikian, benarkah korupsi adalah bagian dari budaya manusia saat ini. Jika memang demikian, sudahkan peradaban kita mundur secara moral diera yang semakin moderen ini. Semoga saja tidak selama kita senantiasa melaksanakan Islam dengan baik dan menjadikan Al-Qur’an dan Hadist sebagai panduan hidup.

Dan kitapun berharap, bukan hanya korupsi besar yang diberantas dengan hasil korupsinya, seperti menangkap pelaku, menghukumnya dan mengambil kembali hasil korupsinya. Kitapun perlu meluruskan kembali dan mengubah paradigma nilai positif korupsi terselubung dengan arti yang sebenarnya. Karena inipun bisa mereduksi budaya buruk menjadi seolah – baik bahkan diterima secara bersama sebagai hal yang biasa – biasa saja. Bahkan diikuti banyak orang dan telah menjadi budaya baru.

Islam sebagai ajaran yang sempurna selalu jelas dan tegas untuk menjelaskan yang hak dan yang batil, yang halal dan yang haram. Bahkan perkara yang syubuhat atau diragukan apakah halal dan haram, Islam mengajarkan tegas, untuk bersikap hati – hati. Karena itu teladan Umar bin Abdul Azis perlu kita renungkan dan menjadi cambuk untuk menjaga dan mensucikan diri. Terutama bagi kita yang memanggul sebuah amanah, baik menjadi pejabat, pegawai atau profesi apapun.

Rasulullah SAW bersabda ‘’Barangsiapa yang menjaga dirinya dari hal-hal yang syubhat, sesungguhnya ia telah berhasil mencari kebersihan bagi agamanya dan nama baiknya sendiri.’’

(HR Bukhari dan Muslim).
Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Kita Semua Menunggu Hari Terakhir Hidup Kita....

Demikianlah kalimat yang pernah diucapkan oleh As-Syahid Abdul Azis Rantisi, murid As-Syahid Syekh Ahmad Yasin dan penerus kepemimpinan Hamas Sepeninggal beliau. "Tidak ada yang berbeda mati sakit jantung atau ditembak apache. Dan saya memilih mati dengan Apache..."

Sehari sebelum syahid dihantam rudal zionis Israel, beliau mengambil tabungannya selama mengajar di Universitas Islam Gaza, dan melunasi semua hutangnya termasuk memberi bantuan untuk pernikahahan sang anak. Kemudian beliau berkata, "kalaulah saat ini aku bertemu dengan Tuhanku, aku dalam keadaan bersih, saya tidak memiliki apa - apa dan tanggungan apa - apa.

Setiap manusia pasti mati. Setiap yang bernyawa pasti mati. Tapi bisakah kita menyiapkan kematian dengan cara yang indah seperti As-Syahid Rantisi...? Bertahun - tahun berjuang membela tanah airnya, Palestina dari penjajah Israel dan selalu memohon mati syahid di jalan-Nya. Dan Allah telah mengabulkan doanya, memilihnya mati dengan Apache

Tiga hari yang lalu, ketika sedang menjalani terapi herba detoksinisasi, selain mengalami efek kejut dan reaksi fisik seperti badan gemetar, pusing, perut mual dan selalu buanga air, terapi tersebut juga memberi efek "psikis-spiritual". Tiba - tiba saya merasa yakin, bahwa saya akan mati. Mati hari ini juga, detik ini. Dalam bayangan saya, malaikat Izroil tinggal mencabut nyawa saya. Tiba - tiba badan saya bergetar hebat dan tubuh saya berkeringat dingin dan menggigil. Ya Allah...sampai disinikah riwayatku...?

Dalam menit yang sama terpikir begitu banyak sekali urusan saya yang belum selesai. Belum bertobat atas segala dosa, hutang - hutang yang belum terlunasi, amal yang masih sangat sedikit dan belum tentu diterima disisi Allah, dan belum mewujudkan mimpi - mimpi yang dapat menjadi amal jariyah, menulis buku, mendirikan sekolah gratis, dan sederetan agenda yang masih menguap dalam angan. Ya Allah, aku belum sanggup menghadap-Mu. Masih sangat banyak yang belum selesai. Masih sedikit amal yang akan aku bawa untuk bertanggung jawab di hadapanMu. Dan tak sanggup aku menerima murka dan azab-Mu. Duhai Allah, berilah aku waktu. Air mata tak terasa menetes deras.

Sekitar 20-an menit saya mengalami itu. Istigfar, dan membaca doa agar diberi waktu terus meluncur dari bibir. Saya belum siap mati. Belum dan sangat belum. Malam itu saya tidak bisa tidur. Saya takut mati dan saya selalu menggerakan kaki saya, sebagai media untuk meyakinkan diri sendiri bahwa saya masih hidup. Ya Allah...Allah...Allah..

Ternyata saya belum siap menyambut kematian. Menerimanya ketika ia datang. Padahal ia ibarat pintu masuk rumah kita. Kapanpun bisa datang, suka tidak suka. Dan yang paling pasti adalah kematian. Menikah, tidak semua orang bertemu jodohnya di dunia. Memiliki anak, tidak semua pasangan bisa melahirkan anak. Rezeki, jabatan, pangkat, harta, semua orang bisa mendapatkan namun bisa juga tidak. Namun kematian, kita semua pasti mati. Pasti.

Siapkah kita menungggu hari terakhir hidup kita. Detik terakhir dan tarikan napas yang terakhir. Dan yakinkah kita, seyakin As-Syahid Rantisi yang selalu merindukan syahid selama hidupnya. Yakin telah siap dan bersih (suci) bertemu dengan Allah. Yakin semua urusan di dunia telah selesai. Urusan dengan manusia, segala macam konflik dan permusuhan dengan manusia, hutang - hutang kita, dan tentu saja segala macam dosa yang sering kita lakukan....dan kita belum sempat bertobat...

Dan janganlah kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam...
Siap...?
Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Sombong

Bismillahirrohmaanirrohiim

"Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, "sujudlah kamu kepada adam" maka sujudlah mereka kecuali iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang - orang kafir" (Al-Baqaroh : 34)

Kita adalah anak cucu Adam. Mewarisi kemuliaan sebagai makhluk Allah yang diberi hak untuk menjadi khalifahNya di bumi. Kita diberi otoritas sebagia wakil Allah untuk menunaikan tugas memakmurkan bumi dan berbuat kemaslahatan. Dan sebagai seorang utusan, kitapun mempertanggungjawaban segala perbuatan kita. Lalu bagaimanakah kalau kita mengikuti jejak langkah iblis yang dikutuk dan diusir karena merasa paling baik, paling pintar, paling kaya, paling mulia dan merasa paling - paling alias sombong.

Hukum manusia tidak pernah memberikan sanksi kepada orang - orang sombong. Padahal banyak dampak negatif yang ditimbulkan akibat sebuah kesombongan. Dengan kesombongan seorang majikan bisa mencelakakan pembantunya, dengan sombong seorang pejabat bisa terjebak untuk memperkaya diri dan koripsi karena standar hidup dan gaya hidup yang tinggi. Karena sombong orang bisa berbuat sewenang - wenang.

Namun demikian hukum Allah sangat tegas terhadap orang yang sombong. Sangat banyak ayat Al-Qur'an yang menjelaskan tentang kesombongan.

"Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh , teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri" (QS. Annisa :36)

"Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang mereka dilarang mengerjakannya, Kami katakan kepadanya: "Jadilah kamu kera yang hina." (QS. Al-A'raf : 166)

Dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) akan berkumpul menghadap ke hadirat Allah, lalu berkatalah orang-orang yang lemah kepada orang-orang yang sombong: "Sesungguhnya kami dahulu adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah kamu menghindarkan daripada kami azab Allah (walaupun) sedikit saja? Mereka menjawab: "Seandainya Allah memberi petunjuk kepada kami, niscaya kami dapat memberi petunjuk kepadamu. Sama saja bagi kita, apakah kita mengeluh ataukah bersabar. Sekali-kali kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri". Ibrahim [14:21]

Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat, hati mereka mengingkari (keesaan Allah), sedangkan mereka sendiri adalah orang-orang yang sombong. An-Nahl [16:22]

Tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka lahirkan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong. An-Nahl [16:23]

Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung. Al-Isra [17:37]

Dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia niscaya berpalinglah dia: dan membelakang dengan sikap yang sombong; dan apabila dia ditimpa kesusahan niscaya dia berputus asa. Al-Isra [17:83]

kepada Fir'aun dan pembesar-pembesar kaumnya, maka mereka ini takabur dan mereka adalah orang-orang yang sombong. Al-Mumenoon [23:46]

Bahwa janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang berserah diri'". An-Naml [27:31]

Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Luqman [31:18]

(Yaitu) orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka . Amat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi orang-orang yang beriman. Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.
Al-Mu'min[40:35]

(Dikatakan kepada mereka): "Masuklah kamu ke pintu-pintu neraka Jahannam, dan kamu kekal di dalamnya. Maka itulah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang sombong".
Al-Mu'min [40:76]

Apakah wahyu itu diturunkan kepadanya di antara kita? Sebenarnya dia adalah seorang yang amat pendusta lagi sombong". Al-Qamar [54:25]

(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri,
Al-Hadid [57:23]

Allah sangat membenci orang yang sombong. Karena memang sebagai makhlukNya sangat tidak pantas kita sombong. Kita ada dan terlahir karena Allah yang mengadakan dan menciptakan. Kita hidup karena Allah yang menghidupkan. Kita sehat, kaya, pintar, cantik juga karena semata - mata pemberian Allah. Lalu apa yang kita sombongkan karena tidak secuilpun yang melekat dan "menjadi milik" kita adalah kepunyaan kita...? Semuanya kepunyaanNya. Kita hanya diberi pinjaman atau dititipkan sementara waktu, dan Allah berhak dan berkuasa untuk mengambilnya kapan saja.

Demikian halnya dengan iblis. Allah sangat murka ketika iblis memberikan alasanya enggan bersujud kepada Adam karena merasa lebih baik dan mulia dibanding Adam. Lalu bagaimana kemurkaan Allah akan kita tanggung ketika Allah muak melihat kesombongan kita. Dan sangat berat azab bagi orang yang sombong

(Dikatakan kepada mereka): "Masuklah kamu ke pintu-pintu neraka Jahannam, dan kamu kekal di dalamnya. Maka itulah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang sombong".
Al-Mu'min [40:76]

Banyak sekali sejarah manusia yang binasa karena sombong. Lihatlah Fir'aun, ikon kesombongan karena kekuasaan, yang mati dan diazab oleh Allah. Demikian pula Qarun ikon kesombongan karena kekayaan. Mereka semua orang - orang sombong, yang karena kesombongannya banyak berbuat kemungkaran. Karena kesombongannya dihadapan manusia bahkan Allah, mereka berakhir dengan nasib yang sangat tragis.

Memang tak ada hukum pidana/perdata bagi manusia sombong. Karena sombong adalah persoalan hati dan tingkah laku yang tidak diatur diundang - undang manapun. Undang - undang manusia tidak mengatur tindakah, tingkah laku atau akhlak manusia, apalagi yang tidak berdampak langsung bagi kenyamanan dan keamanan publik. Padahal ada keterkaitan tidak langsung antara sombong dengan tindakan zholim manusia. Akibat sombong banyak orang terperosok. Kerena punya bibit kesombongan seorang pejabat bisa masuk penjara, karena sewenang - wenang dengan kekuasaan yang dimiliknya. Karena sombong banyak para pembantu rumah tangga yang dianiaya dan disiksa.

Lalu bagaimana tindakan kita kalau mendapati orang yang sombong, apalagi yang berdampak pada perbuatan zholim atau aniaya. Kalau menunggu azab Allah. adalah sebuah keniscayaan, karena tidak ada perbuatan yang tidak dimintai pertanggungjawaban. Namun sebagai makhluk sosial, perlukan kita membuat aturan...dilarang sombong, kalau tidak denda dan masuk penjara. hehehe..

Lalu, bagusnya orang sombong diapain yah...?

Wallahu'alam
Hmmm...kalau tidak sombong silahkan baca
Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Senin, 30 Agustus 2010

Dimanakah Allah SWT berada???

1. Pendapat Pertama:
Dimanakah Allah?

Pada masa sekarang ini, di mana banyak diantara kaum muslimin yang sudah sangat menyepelekan masalah aqidah shahihah yang merupakan masalah paling pokok dalam agama ini, maka akan kita dapati dua jawaban yang batil dan kufur dari pertanyaan “Dimana Alloh?”. Yang pertama mereka yang mengatakan bahwasanya Alloh ada dalam diri setiap kita? Dan kedua yaitu yang mengatakan Alloh ada di mana-mana atau di segala tempat?

Seorang Budak Pun Tahu Dimana Alloh
Ketahuilah wahai Saudaraku, pertanyaan “Dimana Alloh?” adalah pertanyaan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam kepada seorang budak perempuan kepunyaan Mu’awiyah bin Hakam As Sulamiy sebagai ujian keimanan sebelum ia dimerdekakan oleh tuannya. “Beliau bertanya kepada budak perempuan itu, ‘Dimanakah Alloh?’ Jawab budak perempuan, ‘Di atas langit’ Beliau bertanya lagi, Siapakah aku? Jawab budak perempuan, ‘Engkau adalah Rosululloh’, Beliau bersabda, ‘Merdekakan dia! Karena sesungguhnya dia seorang mu’minah (perempuan yang beriman)’.” (HR. Muslim dan lainnya)
Maka perhatikanlah dengan seksama masyarakat tersebut, yang mana Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam berjihad bersama mereka, aqidah mereka sempurna (merata) hingga pada para penggembala kambing sekalipun, yang mana perjumpaan (pergaulan) mereka dengan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam sangat sedikit, seperti penggembala kambing ini. Kemudian bandingkanlah dengan realita kaum muslimin sekarang ini, niscaya akan kita dapatkan perbedaan yang sangat jauh. Keyakinan di mana Alloh termasuk masalah besar yang berkaitan dengan sifat-sifat-Nya yaitu penetapan sifat Al-’Uluw (sifat ketinggian Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bahwa Dia di atas seluruh mahluk), ketinggian yang mutlak dari segala sisi dan penetapan Istiwa’ (bersemayam)-Nya di atas Al-’Arsy, berpisah dan tidak menyatu dengan makhluk-Nya sebagaimana yang diyakini oleh kaum Wihdatul Wujud, yang telah dikafirkan oleh para ulama kita yang dahulu dan sekarang. Dan dalil-dalil yang menunjukkan penetapan sifat ini sangatlah banyak, sangat lengkap dan jelas, baik dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, ijma’, akal dan fitrah sehingga para ulama menganggapnya sebagai perkara yang bisa diketahui secar a mudah oleh setiap orang dalam agama yang agung ini.

Dalil-Dalil Al Qur’an
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “(Robb) Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy.” (Thoha: 5). Dan pada enam tempat dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga ber firman, “Kemudian Dia Istiwa’ (bersemayam) di
atas ‘Arsy.” (Al-A’raf: 54). ‘Arsy adalah makhluk Alloh yang paling tinggi berada di atas tujuh langit dan sangat besar sekali sebagaimana diterangkan Ibnu Abbas, “Dan ‘Arsy tidak seorang pun dapat mengukur berapa besarnya.” (Dikeluarkan oleh ImamIbnu Khuzaimah, sanadnya Shahih). Ayat ini jelas sekali menunjukkan ketinggian dan
keberadaan Alloh Subhanahu wa Ta’ala di atas langit serta menutup jalan untuk meniadakan atau menghilangkan sifat ketinggian-Nya atau mentakwilkannya. Para ulama Ahlus Sunnah pun sepakat bahwa Alloh Subhanahu wa Ta’ ala ber-istiwa’ di atas ‘Arsy-Nya sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya tanpa mempertanyakan bagaimana cara/kaifiyat istiwa’-Nya. Dan perlu diketahui bahwa penetapan sifat ini sama dengan penetapan seluruh sifat Alloh yang lainnya, yaitu harus berjalan di atas dasar penetapan sifat Alloh sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya tanpa ada penyerupaan sedikitpun dengan makhluk-Nya.

Dalil-Dalil As Sunnah
Adapun dalil-dalil dari As-Sunnah juga sangat banyak, di antaranya adalah sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Tidakkah kalian percaya padaku sedangkan aku adalah kepercayaan Yang berada di atas langit. Datang kepadaku wahyu dari langit di waktu pagi dan petang.” (HR. Bukhori-Muslim). Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Orang-orang yang penyayang akan disayangi oleh Yang Maha Rahman, sayangilah siapa saja yang ada di bumi niscaya kalian akan disayangi oleh Yang berada di atas langit.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Imam Al-Albani). Begitu pula dengan hadits pertanyaan Rosululloh kepada budak perempuan yang telah disebutkan di atas. Imam Adz-Dzahabi berkata setelah membawakan hadits budak perempuan di atas, “Demikianlah pendapat kami bahwa setiap orang yang ditanyakan di manakah Alloh, dia segera menjawab dengan fitrahnya, ‘Alloh di atas langit!’ Dan di dalam hadits ini ada dua perkara yang penting; Pertama disyariatkannya pertanyaan, ‘Dimana Alloh?’ Kedua, disyariatkannya jawaban yang ditanya, ‘Di atas langit’. Maka siapa yang mengingkari kedua perkara ini maka sesungguhnya dia mengingkari Al-Musthofa shollallohu ‘alaihi wa sallam“. (Mukhtashor Al-’Uluw)
Akan tetapi realita kaum muslimin sekarang amat sangat memprihatinkan. Pertanyaan ini justeru telah menjadi sesuatu yang ditertawakan dan jarang dipertanyakan oleh sebagian jama’ah-jama’ah dakwah di zaman ini? Ataukah justru pertanyaan ini telah menjadi bahan olok-olokan semata? Ataukah kaum muslimin sekarang ini telah memahami pentingnya berhukum dengan hukum yang diturunkan Alloh, meskipun mereka menyia-nyiakan hak Alloh? Maka kapankah Alloh akan mengizinkan untuk melepaskan, membebaskan dan memerdekakan kita dari orang-orang kafir yang menghinakan dan merendahkan kita sebagaimana telah dibebaskannya seorang wanita dari hinanya perbudakan setelah ia mengenal dimana Alloh?

Konsekuensi Jawaban Yang Keliru
Alangkah batilnya orang yang yang mengatakan bahwasanya Alloh berada di setiap tempat atau Alloh berada di mana-mana karena konsekuensinya menetapkan keberadaan Alloh di jalan-jalan, di pasar bahkan di tempat-tempat kotor dan berada di bawah makhluk-Nya. Kita katakan kepada mereka, “Maha Suci Alloh dari apa-apa yang mereka sifatkan.” (Al-Mu’minun: 91). Dan sama halnya juga dengan orang yang mengatakan bahwasanya Alloh ada dalam setiap diri kita (??) karena konsekuensinya Alloh itu banyak, sebanyak bilangan makhluk? Maka aqidah seperti ini lebih kufur daripada aqidahnya kaum Nashrani yang mengakui adanya tiga tuhan (trinitas). Lebih-lebih lagi mereka yang mengatakan bahwa Alloh tidak di atas, tidak di bawah, tidak di kanan, tidak di kiri, tidak di depan, tidak di belakang karena hal ini
berarti Alloh itu tidak ada (??) maka selama ini siapa Tuhan yang mereka sembah? Adapun orang yang “diam” dengan mengatakan, “Kami tidak tahu Dzat Alloh di atas ‘Arsy atau di bumi” mereka ini adalah orang-orang yang memelihara kebodohan. Karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah mensifatkan diri-Nya dengan sifat-sifat yang salah satunya adalah bahwa ia istiwa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy-Nya supaya kita mengetahui dan menetapkannya. Oleh karena itu “diam” darinya dengan ucapan “Kami tidak tahu” nyata-nyata telah berpaling dari maksud Alloh. Pantaslah jika Imam Abu Hanifah mengkafirkan orang yang berfaham demikian, tentunya setelah ditegakkan hujjah atas mereka.

Dalil Fitrah
Sebenarnya tanpa adanya dalil naqli tentang keber adaan Alloh di atas, fitrah kita sudah menunjukkan hal tersebut. Lihatlah jika manusia berdo’a khususnya apabila sedang tertimpa musibah, mereka menengadahkan wajah dan tangan ke langit sementara gerakan mata mereka ke atas mengikuti isyarat hatinya yang juga mengarah ke atas. Maka siapakah yang mengingkari fitrah ini kecuali mereka yang telah rusak fitrahnya? Bahkan seorang artis pun ketika ditanya tentang kapan dia mau menikah maka dia menjawab, “Kita serahkan pada Yang di atas!” Maka mengapa kita tidak menjawab pertanyaan “Dimana Alloh?” dengan fitrah kita? Dengan memperhatikan kenyataan ini, lalu mengapa kita lebih sibuk menyatukan suara kaum muslimin di kotak-kotak pemilihan umum sementara hati-hati mereka tidak disatukan di atas aqidah yang shahih? Bukankah persatuan jasmani tidak akan terwujud bilamana ikatan hati bercerai-berai? Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Kamu mengira mereka itu bersatu, padahal hati-hati mereka berpecah-belah.” (Al-Hasyr: 14). Hanya kepada Alloh-lah kita memohon perlindungan





2. Pendapat Kedua
Dimanakah Sebenarnya Allah ?
Dalam kutipan ayat-ayat kitab suci Al-qur'an sering disebutkan bahwa Allah bersemayam di atas 'Arsy dan Allah di langit. Selain itu masyarakat awam juga sering mengatakan Allah ada di mana-mana, hal ini bisa menimbulkan kesan bahwa Allah berpindah-pindah dan/atau lebih dari satu, padahal Dia bersifat Esa, Ghaibal Ghuyub dan Ghaibal Kubra.
Mengenai pemahaman apa itu sebenarnya 'Arsy dan "langit" ini, hendaknya kita harus lebih hati-hati dan teliti. Jangan sampai kita jatuh terjebak pada kebiasaan selama ini, sehingga tanpa tanpa kita sadari sebentar-sebentar dengan mudah dan cepat kita selalu mengatakan bahwa sesuatu (ini dan itu) adalah termasuk bid'ah hanya karena menurut kita sesuatu itu tidak ada contohnya dari Rasul SAW, yang mungkin saja hal ini disebabkan oleh keterbatasan informasi yang kita terima maupun pemahaman kita terhadap ayat-ayat Allah, Kalam Allah, dimana dalam memahamkannya hanya bersandarkan pada akal logika semata. Akan lebih baik bilamana kita ketahui dulu ilmunya secara kaffah (menyeluruh, lengkap) dan benar, jangan menafsirkan ayat sepotong-sepotong, namun suatu ayat harus dijelaskan oleh ayat yang lain (ayyatun mubayyinatun).
Bahwa istilah "langit" bukan hanya melukiskan alam fisik saja tetapi keseluruhannya, dari alam terendah sampai tertinggi, dari alam ghaib sampai alam maha ghaib. Istilah "langit" digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang ghaib, dan bukan melulu alam fisik.
Alqur'an di dalam mengungkapkan suatu masalah yang konkrit, misalnya hukum rajam, hukum jinayat, hukum waris, hukum syariat mu'amalat, dijelaskan dengan kalimat yang bukan majaz, yaitu muhkamat artinya sudah jelas, tidak perlu ditafsirkan lagi, seperti shalatlah kamu, bayarlah zakat, dst. Akan tetapi kalau sudah mencakup persoalan ghaib, misal: tentang Allah, rahasia langit, peralatan akherat, syurga, dan neraka, dll; serta perasaan, maka Alqur'an menggunakan kalimat perumpamaan (metafora), yang biasa disebut mutasyabihaat.
Ada kelemahan bahasa manusia jika mengungkapkan rasa dan sesuatu yang ghaib, sehingga Baginda Rasulullah SAW ketika menjelaskan masalah syurga-pun tidak menjelaskan keadaan sebenarnya. Beliau hanya memberikan gambaran bahwa syurga itu indah dan nikmat, di bawahnya ada air susu dan madu mengalir, ada buah-buahan, korma, anggur dll, setelah itu beliau memberikan penjelasan bahwa keadaan syurga itu tidak pernah terdengar oleh telinga, tidak bisa terbayangkan oleh pikiran, dan tidak pernah terlintas di hati. Artinya bukan seperti apa yang digambarkan oleh Rasulullah (lihat gambaran syurga antara lain dalam surat Yaasin ayat:55-57).
Bagaimana Rasulullah akan menjelaskan sesuatu, atau keadaan yang di dunia ini tidak ada. Bagaimana beliau akan memperbandingkan sesuatu yang tidak ada di dunia. Apa jadinya kalau syurga itu seperti apa yang telah kita bayangkan tadi? Mirip dengan apa yang kita rasakan? Hal ini juga terjadi kepada kita, ketika dihadapkan persoalan ungkapan rasa misalnya, hatiku telah bersemi lagi, atau mendidih rasa hatiku tatkala melihat dia, atau perampok itu tergolong pembunuh berdarah dingin; dan banyak lagi ungkapan rasa yang tidak tertampung dan terwakili oleh kosa kata bahasa verbal.
Sebagaimana rasa manis yang ada pada gula tidak bisa diceritakan kalau kita tidak mengalaminya sendiri mencicipi gula itu. Kalau kita mencoba menafsirkan ungkapan rasa itu dengan logika atau akal maka akan terjadi kesalahfahaman yang pasti akan menyimpang, sehingga wajarlah Rasulullah SAW tidak pernah menafsirkan atau memberikan keterangan hal tersebut berupa 'footnote' dalam Alqur'an, sebab para muridnya yaitu sahabat sudah mengerti maksudnya tanpa harus mencoba-coba menafsirkan sendiri. Misalnya lagi pada hal yang sangat sederhana ada orang berkata "Saya mau pergi ke rumah sakit" pasti kita tidak akan mengernyitkan mata karena bingung. Jangan ditafsirkan dengan mengatakan "rumah yang sakit".
Begitu pula tentang keberadaan Allah bahkan wujud Allah. Allah mempergunakan kalimat mutasyabihat dalam menerangkan keadaan diri-Nya, seperti dalam firman-firman-Nya:
"Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan matahari, bulan dan bintang-bintang tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam." (QS Al-Araf : 54)
" ... Allah adalah cahaya langit dan bumi" (QS. An Nur: 35)
" ... hai iblis apakah yang menghalangi kamu bersujud kepada yang telah Ku Ciptakan dengan kedua tangan-Ku ..." (QS. As Shaad:75)
"maka Allah menjadikannya tujuh langit dalam dua hari..." (QS. Al Fushilat 12)
"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah bahwasanya Aku ini dekat ..." (QS. Al Baqarah :186)
".. dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya" (QS. Qaaf:16)
" ... ingatlah bahwa sesungguhnya Dia maha meliputi segala sesuatu" (QS. Al Fushilat 54)
" ... kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah .. "(QS. Al Baqarah:115)
Sangat jelas bagi kita, bahwa ungkapan-ungkapan mutasyabihat di atas, dimengerti bukan untuk ditafsirkan, melainkan sebagai batasan fikiran melalui konsepsi manusia. Bukan hal yang sebenarnya, sebab Allah tidak bisa dibandingkan dengan sesuatu (QS. As syura: 11), bahwa Allah tidak bisa dilihat dengan mata manusia dan tidak bisa dijangkau oleh fikiran manusia.
Bukankah syirik, untuk memberikan tafsiran yang menggambarkan bahwa Allah memerlukan singgasana ('Arsy) dan juga seakan-akan Allah sesudah membuat langit dan bumi berserta isinya naik kembali ke tahta-Nya? Kalau Allah memerlukan singgasana ('Arsy) berarti Allah bertempat? Alangkah anehnya, jika dikatakan Allah dalam menciptakan iblis menggunakan kedua tangan-Nya, dan dikatakan Allah mempunyai wajah?
Allah mentasybihkan dan meminjam kata-kata yang dimiliki manusia untuk memudahkan berdialog dan memberikan pengertian dalam bentuk bahasa manusia dan ilmu, sebab kalau kita menterjemahkan dengan kata sebenarnya maka akan ada benturan-benturan yang saling bertentangan.
Kurang tepat bila dikatakan kalau Allah ada di mana-mana, walaupun difirmankan "....kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah". Juga tidak pula bisa dikatakan bahwa Allah berada di langit atas sana sehingga kita menunjuk ke arah atas atau ketika kita berdoa kita menengadahkan tangan kita ke atas sambil di benak kita beranggapan bahwa Allah seolah-olah ada di langit di atas nun jauh di sana. Sekali lagi kalau dikatakan Allah di langit di atas sana berarti Allah bertempat di langit dan kalau demikian jadinya berarti selain di langit apakah tidak ada Allah? Sehingga hakikat langit yang sebenarnya bukanlah berupa alam fisik, seperti dzan (persangkaan) kita selama ini. Dia maha meliputi segala sesuatu.
Lalu dimanakah Allah ?
Berdasarkan ilmu tauhid, aqoidul iman, Allah dikatakan adalah seru sekalian alam, meliputi segala sesuatu, karena tak ada sesuatupun yang tidak diliputi oleh-Nya, bahkan lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Lihat kembali QS. Al Baqarah : 186, QS. Qaaf:16, QS. Al Baqarah:115, dan QS. Al Fushilat 54 di atas. Ketertutupan atau terhijabnya hati kita atas keberadaan Allah disebabkan ketidaktahuan dan sangkaan (dzan) kita akan Allah yang keliru. Hijab adalah tirai penutup, di dalam ilmu tasawuf biasa disebut sebagai penghalang lajunya jiwa menuju Khaliknya. Hati tidak mampu melihat kebenaran yang datang dari Allah. Nur Allah yang ada di dalam dada tidak bisa ditangkap dengan pasti. Dengan demikian manusia seolah-olah akan selalu merasa berada jauh dari Allah, kita di bumi dan Allah di atas langit, dalam keragu-raguan atau was-was.
Mudah-mudahan kita diberi kefahaman atas ilmu-ilmu-Nya yang tersembunyi maknanya. Amiin.



Pilih yang mana?
Terserah anda.....!!!

Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Senin, 16 Agustus 2010

MENEPIS SIFAT SOMBONG

SOMBONG, takabbur, atau merasa diri besar adalah masalah yang sangat serius. Kita harus berhati-hati dengan persoalan ini. Sebab kesombongan inilah yang menyebabkan setan terusir dari surga dan kemudian dikutuk oleh Allah selamanya. Hadirnya rasa takabbur sangat halus sekali. Banyak orang telah merasa tawadhu (rendah hati) padahal dirinya di mata orang lain sedang menunjukkan sikap takabburnya. Tentang sikap takabbur ini Rasulullah SAW bersabda: Tidak akan masuk surga siapa yang di dalam hatinya ada kesombongan walau seberat debu. (HR Muslim). Allah benar-benar mengharamkan surga untuk dimasuki orang-orang takabbur. Takabbur hanya layak bagi Allah yang memang memiliki keagungan sempurna. Sedang seluruh makhluk hanya sekadar menerima kemurahan dari-Nya.
Penyakit takabbur memang benar-benar seperti bau busuk yang tidak dapat ditutup-tutupi dan disembunyikan. Orang yang mengidap penyakit ini demikian mudah dilihat oleh mata telanjang orang awam sekalipun dan dapat dirasakan oleh hati siapapun.
Perhatikan penampilan orang takabbur! Mulai dari ujung rambut, lirikan mata, tarikan nafas, senyum sinis, tutur kata, jumlah kata, nada suara, bahkan senandungnya pun benar-benar menunjukkan keangkuhan. Begitupun cara berjalan, duduk, menerima tamu, berpakaian, gerak-gerik tangan bahkan hingga ke jari-jari kaki. Semuanya menunjukkan gambaran orang yang benar-benar buruk perangainya.
Ada pertanyaan menarik. Pantaskah sebenarnya orang bersikap takabbur, jika seluruh kebaikan pada dirinya semata-mata hanya berkat kemurahan Allah padanya? Padahal jika Allah menghendaki, dia bisa terlahir sebagai kambing. Tentu saja saat itu tidak ada lagi yang bisa disombongkan. Atau kalau Allah mau, dia bisa terlahir dengan kemampuan otak yang minim. Bahkan jika Allah takdirkan dia lahir di tengah-tengah suku pedalaman di hutan belantara, maka pada saat ini mungkin dia tengah mengejar babi hutan untuk makan malam. Apa lagi yang bisa disombongkan?
Marilah kita berhati-hati dari bahaya kesombongan ini. Jika penyakit ini datang pada kita, kita akan sengsara. Langkah kehati-hatian ini bisa dimulai dengan mengenali ciri-ciri kesombongan. Rasulullah SAW bersabda: Sombong itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan sesama manusia. (HR Muslim). Jika dalam hati kita ada satu dari dua hal ini, atau kedua-duanya ada, itu pertanda kita telah masuk dalam deretan orang-orang sombong.
Sebagian orang ada yang merasa dirinya paling mulia, baik, salih, dekat pada Allah, dikabul doanya, berkah urusannya, dan lainnya. Ketika ada kebaikan lalu kita laporkan padanya, dia berkata: Oh, siapa dulu dong yang mendoakannya? Dan ketika kita datang padanya dengan keluhan berupa musibah, dia berkata: Ah, itu sih tidak aneh, saya pernah mengalaminya lebih parah dari itu.
Ini adalah gambaran kesombongan. Orang merasa diri lebih dekat pada Allah, lalu memandang orang lain dengan pandangan yang merendahkan. Perilaku seperti ini jika diteruskan akan merugikan pelakunya. Hakikatnya, semua kebaikan dan keburukan terjadi karena izin Allah. Katakanlah (wahai Muhammad) bahwa semuanya (kebaikan dan keburukan itu) adalah dari sisi (atas takdir) Allah. (QS An Nisaa 4:78). Kita tidak berdaya membuat kebaikan dan keburukan jika Allah tidak menghen daki hal itu terjadi. Sekalipun berupa doa atau puasa, tidak bisa dijadikan alasan bahwa kita punya kuasa atas kebaikan dan keburukan. Wallahu alam***
------------------------ 

Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Sabtu, 14 Agustus 2010

Wasiat Aqidah Imam Syafi’i

Imam Syafi’i begitulah orang-orang menyebut dan mengenal nama ini begitu lekat di dalam hati setelah nama-nama seperti Khulafaur Rasyidin. Namun sangat disayangkan orang-orang mengenal Imam Syafi’i hanya dalam kapasitasnya sebagai ahli fiqih. Padahal beliau adl tokoh Ahlus Sunnah wal Jama’ah dgn multi keahlian. Karena itu ketika memasuki Baghdad beliau dijuluki Nashirul Hadits . . Imam Adz-Dzahabi menjuluki beliau dgn sebutan Nashirus Sunnah dan salah seorang mujaddid pada abad kedua hijriyah. .
Dalam hal aqidah Imam Syafi’i memiliki wasiat yg sangat berharga. Muhammad bin Ali bin Shabbah Al-Baldani berkata “Inilah wasiat Imam Syafi’i yg diberikan kepada para sahabatnya ‘Hendaklah Anda bersaksi bahwa tiada Tuhan yg berhak disembah selain Allah Yang Maha Satu yg tiada sekutu bagiNya. Dan sesungguhnya Muhammad bin Abdillah adl hamba dan RasulNya. Kami tidak membedakan para rasul antara satu dgn yg lain. Sesungguhnya shalatku ibadahku hidup dan matiku hanya utk Allah semata Tuhan semesta alam yg tiada bersekutu dgn sesuatu pun. Untuk itulah aku diperintah dan saya termasuk golongan orang yg menyerahkan diri kepadaNya. Sesungguhnya Allah membangkitkan orang dari kubur dan sesungguhnya Surga itu haq Neraka itu haq adzab Neraka itu haq hisab itu haq dan timbangan amal serta jembatan itu haq dan benar adanya. Allah membalas hambaNya sesuai dgn amal perbuatannya. Di atas keyakinan ini aku hidup dan mati dan dibangkitkan lagi Insya Allah. Sesungguhnya Al-Qur’an itu adl kalam Allah bukan makhluk ciptaanNya. Sesungguhnya Allah di hari akhir nanti akan dilihat oleh orang-orang mukmin dgn mata telanjang jelas terang tanpa ada suatu penghalang dan mereka mendengar firmanNya sedangkan Dia berada di atas ‘Arsy. Sesungguhnya takdir baik buruknya adl berasal dari Allah Yang Maha Perkasa dan Agung. Tidak terjadi sesuatu kecuali apa yg Allah kehendaki dan Dia tetapkan dalam qadha’ qadarNya.
Sesungguhnya sebaik-baik manusia setelah Baginda Rasul ` adl Abu Bakar Umar Utsman dan Ali radhiallahu’anhum. Aku mencintai dan setia kepada mereka dan memohonkan ampun bagi mereka bagi pengikut perang Jamal dan Shiffin baik yg membunuh maupun yg terbunuh dan bagi segenap Nabi. Kami setia kepada pemimpin negara Islam selama mereka mendirikan shalat. Tidak boleh membangkang serta memberontak mereka dgn senjata. Kekhilafahan berada di tangan orang Quraisy. Dan sesungguhnya tiap yg banyaknya memabukkan maka sedikitnya pun diharamkan. Dan nikah mut’ah adl haram.
Aku berwasiat kepadamu dgn taqwa kepada Allah konsisten dgn sunnah dan atsar dari Rasulullah dan para sahabatnya. Tinggalkanlah bid’ah dan hawa nafsu. Bertaqwalah kepada Allah sejauh yg engkau mampu. Ikutilah shalat Jum’at jama’ah dan sunnah . Berimanlah dan pelajarilah agama ini. Siapa yg mendatangiku di waktu ajalku tiba maka bimbinglah aku membaca “Laailahaillallah wahdahu lasyarikalahu waanna Muhammadan ‘abduhu warasuluh“.
Di antara yg diriwayatkan Abu Tsaur dan Abu Syu’aib tentang wasiat Imam Syafi’i adalah ‘Aku tidak mengkafirkan seseorang dari ahli tauhid dgn sebuah dosa sekalipun mengerjakan dosa besar aku serahkan mereka kepada Allah Azza Wajalla dan kepada takdir serta iradah-Nya baik atau buruknya dan keduanya adl makhluk diciptakan atas para hamba dari Allah SWT. Siapa yg dikehendaki menjadi kafir kafirlah dia dan siapa yg dikehendakiNya menjadi mukmin mukminlah dia. Tetapi Allah SWT tidak ridha dgn keburukan dan kejahatan dan tidak memerintahkan atau menyukainya. Dia memerintahkan ketaatan mencintai dan meridhainya. Orang yg baik dari umat Muhammad masuk Surga bukan krn kebaikannya . Dan orang jahat masuk Neraka bukan krn kejahatannya semata. Dia menciptakan makhluk berdasarkan keinginan dan kehendakNya maka segala sesuatu dimudahkan bagi orang yg diperuntukkannya sebagaimana yg terdapat dalam hadits. .
Aku mengakui hak salaf yg dipilih oleh Allah SWT utk menyertai NabiNya mengambil keutamaannya. Aku menutup mulut dari apa yg terjadi di antara mereka pertentangan ataupun peperangan baik besar maupun kecil. Aku mendahulukan Abu Bakar kemudian Umar kemudian Utsman kemudian Ali radhiallahu ‘anhum. Mereka adl Khulafaur Rasyidin. Aku ikat hati dan lisanku bahwa Al-Qur’an adl kalamullah yg diturunkan bukan makhluk yg diciptakan. Sedangkan mempermasalahkan lafazh adl bid’ah begitu pula sikap tawaqquf adl bid’ah. Iman adl ucapan dan amalan yg mengalami pasang surut. .
Kesimpulan wasiat di atas yaitu
    Aqidah Imam Syafi’i adl aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah;
    Sumber aqidah Imam Syafi’i adl Al-Qur’an dan As-Sunnah. Beliau pernah mengucapkan “Sebuah ucapan seperti apapun tidak akan pasti kecuali dgn Kitabullah atau Sunnah RasulNya `. Dan tiap yg berbicara tidak berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah maka ia adl mengigau . Waallu a’lam.” ;
    Manhaj Imam Syafi’i dalam aqidah menetapkan apa yg ditetapkan oleh Allah dan RasulNya dan menolak apa yg ditolak oleh Allah dan RasulNya. Karena itu beliau menetapkan sifat istiwa’ ru’yatul mukminin lirrabbihim dan lain sebagainya;
    Dalam hal sifat-sifat Allah Imam Syafi’i mengimani makna zhahirnya lafazh tanpa takwil apalagi ta’thil . Beliau berkata “Hadits itu berdasarkan zhahirnya. Dan jika ia mengandung makna lbh dari satu maka makna yg lbh mirip dgn zhahirnya itu yg lbh utama.“. Imam Syafi’i pernah ditanya tentang sifat-sifat Allah yg harus diimani maka beliau menjawab ‘Allah memiliki nama-nama dan sifat-sifat yg telah dikabarkan oleh kitabNya dan dijelaskan oleh NabiNya kepada umatnya. Tidak seorang pun boleh menolaknya setelah hujjah sampai kepadanya krn Al-Qur’an turun dgn membawa nama-nama dan sifat-sifat itu. Maka barangsiapa yg menolaknya setelah tegaknya hujjah ia adl kafir. Adapun sebelum tegaknya hujjah ia adl ma’dzur krn kebodohannya sebab hal itu tidak bisa diketahui dgn akal dan pemikiran. Allah memberitahukan bahwa Dia memiliki sifat “Yadaini” dgn firmanNya “Tetapi kedua tangan Allah terbuka” . Dia memiliki wajah dgn firmanNya “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali wajahNya” .” .
    Kata-kata “As-Sunnah” dalam ucapan dan wasiat Imam Syafi’i dimaksudkan utk tiga arti. Pertama adl apa saja yg diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah ` berarti lawan dari bid’ah. Kedua adl aqidah shahihah yg disebut juga tauhid . Berarti ilmu tauhid adl bukan ilmu kalam begitu pula sebaliknya. Imam Syafi’i berkata “Siapa yg mendalami ilmu kalam maka seakan-akan ia telah menyelam ke dalam samudera ketika ombaknya sedang menggunung“. . Ketiga As-Sunnah dimaksudkan sebagai sinonim dari hadits yaitu apa yg datang dari Rasulullah ` selain Al-Qur’an.
Ahlus Sunnah disebut juga oleh Imam Syafi’i dgn sebutan Ahlul Hadits. Karena itu beliau juga berwasiat “Ikutilah Ahlul Hadits krn mereka adl manusia yg paling banyak benarnya.” . “Ahli Hadits di tiap zaman adl bagaikan sahabat Nabi `.” . Di antara Ahlul Hadits yg diperintahkan oleh Imam Syafi’i utk diikuti adl Imam Ahmad bin Hanbal murid Imam Syafi’i sendiri yg menurut Imam Nawawi “Imam Ahmad adl imamnya Ashhabul Hadits imam Ahli Hadits.” . . 

sumber file al_islam.chm
Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Kamis, 05 Agustus 2010

TASAWUF

oleh Harun Nasution  
    Tujuan tasawuf adalah mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga ia dapat melihat-Nya dengan mata hati bahkan rohnya dapat bersatu dengan Roh Tuhan. Filsafat yang menjadi dasar pendekatan diri itu adalah, pertama, Tuhan bersifat rohani, maka bagian yang dapat mendekatkan diri dengan Tuhan adalah roh, bukan jasadnya. Kedua, Tuhan adalah Maha Suci, maka yang dapat diterima Tuhan untuk mendekatiNya adalah roh yang suci. Tasawuf adalah ilmu yang membahas masalah pendekatan diri manusia kepada Tuhan melalui penyucian rohnya.
    ASAL KATA SUFI
    Tidak mengherankan kalau kata sufi dan tasawuf dikaitkan dengan kata-kata Arab yang mengandung arti suci. Penulis-penulis banyak mengaitkannya dengan kata:
    1. Safa dalam arti suci dan sufi adalah orang yang disucikan. Dan memang, kaum sufi banyak berusaha menyucikan diri mereka melalui banyak melaksanakan ibadat, terutama salat dan puasa.
    2. Saf (baris). Yang dimaksud saf di sini ialah baris pertama dalam salat di mesjid. Saf pertama ditempati oleh orang-orang yang cepat datang ke mesjid dan banyak membaca ayat-ayat al-Qur'an dan berdzikir sebelum waktu salat datang. Orang-orang seperti ini adalah yang berusaha membersihkan diri dan dekat dengan Tuhan.
    3. Ahl al-Suffah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama Nabi ke Madinah dengan meninggalkan harta kekayaannya di Mekkah. Di Madinah mereka hidup sebagai orang miskin, tinggal di Mesjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai suffah, (pelana) sebagai bantal. Ahl al-Suffah, sungguhpun tak mempunyai apa-apa, berhati baik serta mulia dan tidak mementingkan dunia. Inilah pula sifat-sifat kaum sufi.
    4. Sophos (bahasa Yunani yang masuk kedalam filsafat Islam) yang berarti hikmat, dan kaum sufi pula yang tahu hikmat. Pendapat ini memang banyak yang menolak, karena kata sophos telah masuk kedalam kata falsafat dalam bahasa Arab, dan ditulis dengan sin dan bukan dengan shad seperti yang terdapat dalam kata tasawuf.
    5. Suf (kain wol). Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang ingin memasuki jalan tasawuf, ia meninggalkan pakaian mewah yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini melambangkan kesederhanaan serta kemiskinan dan kejauhan dari dunia.
    Diantara semua pendapat itu, pendapat terakhir inilah yang banyak diterima sebagai asal kata sufi. Jadi, sufi adalah orang yang memakai wol kasar untuk menjauhkan diri dari dunia materi dan memusatkan perhatian pada alam rohani. Orang yang pertama memakai kata sufi kelihatannya Abu Hasyim al-Kufi di Irak (w.150 H).
    ASAL-USUL TASAWUF
    Karena tasawuf timbul dalam Islam sesudah umat Islam mempunyai kontak dengan agama Kristen, filsafat Yunani dan agama Hindu dan Buddha, muncullah anggapan bahwa aliran tasawuf lahir dalam Islam atas pengaruh dari luar.
    Ada yang mengatakan bahwa pengaruhnya datang dari rahib-rahib Kristen yang mengasingkan diri untuk beribadat dan mendekatkan diri kepada Tuhan di gurun pasir Arabia. Tempat mereka menjadi tujuan orang yang perlu bantuan di padang yang gersang. Di siang hari, kemah mereka menjadi tempat berteduh bagi orang yang kepanasan; dan di malam hari lampu mereka menjadi petunjuk jalan bagi musafir. Rahib-rahib itu berhati baik, dan pemurah dan suka menolong. Sufi juga mengasingkan diri dari dunia ramai, walaupun untuk sementara, berhati baik, pemurah dan suka menolong.
    Pengaruh filsafat Yunani dikatakan berasal dari pemikiran mistik Pythagoras. Dalam filsafatnya, roh manusia adalah suci dan berasal dari tempat suci, kemudian turun ke dunia materi dan masuk ke dalam tubuh manusia yang bernafsu. Roh yang pada mulanya suci itu menjadi tidak suci dan karena itu tidak dapat kembali ke tempatnya semula yang suci. Untuk itu ia harus menyucikan diri dengan memusatkan perhatian pada fllsafat serta ilmu pengetahuan dan melakukan beberapa pantangan. Filsafat sufi juga demikian. Roh yang masuk ke dalam janin di kandungan ibu berasal dari alam rohani yang suci, tapi kemudian dipengaruhi oleh hawa nafsu yang terdapat dalam tubuh manusia. Maka untuk dapat bertemu dengan Tuhan Yang Maha Suci, roh yang telah kotor itu dibersihkan dulu melalui ibadat yang banyak.
    Masih dari filsafat Yunani, pengaruh itu dikaitkan dengan filsafat emanasi Plotinus. Roh memancar dari diri Tuhan dan akan kembali ke Tuhan. Tapi, sama dengan Pythagoras, dia berpendapat bahwa roh yang masuk ke dalam tubuh manusia juga kotor, dan tak dapat kembali ke Tuhan. Selama masih kotor, ia akan tetap tinggal di bumi berusaha membersihkan diri melalui reinkarnasi. Kalau sudah bersih, ia dapat mendekatkan diri dengan Tuhan sampai ke tingkat bersatu dengan Dia di bumi ini.
    Paham penyucian diri melalui reinkarnasi tak terdapat dalam ajaran tasawuf. Paham itu memang bertentangan dengan ajaran al-Qur'an bahwa roh, sesudah tubuh mati tidak akan kembali ke hidup serupa di bumi. Sesudah bercerai dengan tubuh, roh pergi ke alam barzah menunggu datangnya hari perhitungan. Tapi, konsep Plotinus tentang bersatunya roh dengan Tuhan di dunia ini, memang terdapat dalam tasawuf Islam.
    Dari agama Buddha, pengaruhnya dikatakan dari konsep Nirwana. Nirwana dapat dicapai dengan meninggalkan dunia, memasuki hidup kontemplasi dan menghancurkan diri. Ajaran menghancurkan diri untuk bersatu dengan Tuhan juga terdapat dalam Islam. Sedangkan pengaruh dari agama Hindu dikatakan datang dari ajaran bersatunya Atman dengan Brahman melalui kontemplasi dan menjauhi dunia materi. Dalam tasawuf terdapat pengalaman ittihad, yaitu persatuan roh manusia dengan roh Tuhan.
    Kita perlu mencatat, agama Hindu dan Buddha, filsafat Yunani dan agama Kristen datang lama sebelum Islam. Bahwa yang kemudian datang dipengaruhi oleh yang datang terdahulu adalah suatu kemungkinan. Tapi pendapat serupa ini memerlukan bukti-bukti historis. Dalam kaitan ini timbul pertanyaan: sekiranya ajaran-ajaran tersebut diatas tidak ada, tidakkah mungkin tasawuf timbul dari dalam diri Islam sendiri?
    Hakekat tasawuf kita adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam ajaran Islam, Tuhan memang dekat sekali dengan manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia disebut al-Qur'an dan Hadits. Ayat 186 dari surat al-Baqarah mengatakan, "Jika hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku dekat dan mengabulkan seruan orang yang memanggil jika Aku dipanggil."
    Kaum sufi mengartikan do'a disini bukan berdo'a, tetapi berseru, agar Tuhan mengabulkan seruannya untuk melihat Tuhan dan berada dekat kepada-Nya. Dengan kata lain, ia berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan diri-Nya kepada yang berseru. Tentang dekatnya Tuhan, digambarkan oleh ayat berikut, "Timur dan Barat kepunyaan Tuhan, maka kemana saja kamu berpaling di situ ada wajah Tuhan" (QS. al-Baqarah 115). Ayat ini mengandung arti bahwa dimana saja Tuhan dapat dijumpai. Tuhan dekat dan sufi tak perlu pergi jauh, untuk menjumpainya.
    Ayat berikut menggambarkan lebih lanjut betapa dekatnya Tuhan dengan manusia, "Telah Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Dan Kami lebih dekat dengan manusia daripada pembuluh darah yang ada di lehernya (QS. Qaf 16). Ayat ini menggambarkan Tuhan berada bukan diluar diri manusia, tetapi di dalam diri manusia sendiri. Karena itu hadis mengatakan, "Siapa yang mengetahui dirinya mengetahui Tuhannya."
    Untuk mencari Tuhan, sufi tak perlu pergi jauh; cukup ia masuk kedalam dirinya dan Tuhan yang dicarinya akan ia jumpai dalam dirinya sendiri. Dalam konteks inilah ayat berikut dipahami kaum sufi, "Bukanlah kamu yang membunuh mereka, tapi Allah-lah yang membunuh dan bukanlah engkau yang melontarkan ketika engkau lontarkan (pasir) tapi Allah-lah yang melontarkannya (QS. al-Anfal 17).
    Disini, sufi melihat persatuan manusia dengan Tuhan. Perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan. Bahwa Tuhan dekat bukan hanya kepada manusia, tapi juga kepada makhluk lain sebagaimana dijelaskan hadis berikut, "Pada mulanya Aku adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal. Maka Kuciptakan makhluk, dan melalui mereka Aku-pun dikenal."
    Disini terdapat paham bahwa Tuhan dan makhluk bersatu, dan bukan manusia saja yang bersatu dengan Tuhan. Kalau ayat-ayat diatas mengandung arti ittihad, persatuan manusia dengan Tuhan, hadits terakhir ini mengandung konsep wahdat al-wujud, kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan.
    Demikianlah ayat-ayat al-Qur'an dan Hadits Nabi menggambarkan betapa dekatnya Tuhan kepada manusia dan juga kepada makhluk-Nya yang lain. Gambaran serupa ini tidak memerlukan pengaruh dari luar agar seorang muslim dapat merasakan kedekatan Tuhan itu. Dengan khusuk dan banyak beribadat ia akan merasakan kedekatan Tuhan, lalu melihat Tuhan dengan mata hatinya dan akhirnya mengalami persatuan rohnya dengan roh Tuhan; dan inilah hakikat tasawuf.
    JALAN PENDEKATAN DIRI KEPADA TUHAN
    Jalan yang ditempuh seseorang untuk sampai ke tingkat melihat Tuhan dengan mata hati dan akhirnya bersatu dengan Tuhan demikian panjang dan penuh duri. Bertahun-tahun orang harus menempuh jalan yang sulit itu. Karena itu hanya sedikit sekali orang yang bisa sampai puncak tujuan tasawuf. Jalan itu disebut tariqah (bahasa Arab), dan dari sinilah berasal kata tarekat dalam bahasa Indonesia. Jalan itu, yang intinya adalah penyucian diri, dibagi kaum sufi ke dalam stasion-stasion yang dalam bahasa Arab disebut maqamat -tempat seorang calon sufi menunggu sambil berusaha keras untuk membersihkan diri agar dapat melanjutkan perjalanan ke stasion berikutnya. Sebagaimana telah di sebut diatas penyucian diri diusahakan melalui ibadat, terutama puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan dzikir. Maka, seorang calon sufi banyak melaksanakan ibadat. Tujuan semua ibadat dalam Islam ialah mendekatkan diri itu, terjadilah penyucian diri calon sufi secara berangsur.
    Jelas kiranya bahwa usaha penyucian diri, langkah pertama yang harus dilakukan seseorang adalah tobat dari dosa-dosanya. Karena itu, stasion pertama dalam tasawuf adalah tobat. Pada mulanya seorang calon sufi harus tobat dari dosa-dosa besar yang dilakukannya Kalau ia telah berhasil dalam hal ini, ia akan tobat dari dosa-dosa kecil, kemudian dari perbuatan makruh dan selanjutnya dari perbuatan syubhat. Tobat yang dimaksud adalah taubah nasuha, yaitu tobat yang membuat orangnya menyesal atas dosa-dosanya yang lampau dan betul-betul tidak berbuat dosa lagi walau sekecil apapun. Jelaslah bahwa usaha ini memakan waktu panjang. Untuk memantapkan tobatnya ia pindah ke stasion kedua, yaitu zuhud. Di stasion ini ia menjauhkan diri dari dunia materi dan dunia ramai. Ia mengasingkan diri ke tempat terpencil untuk beribadat, puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan dzikir. Puasanya yang banyak membuat hawa nafsunya lemah, dan membuat ia tahan lapar dan dahaga. Ia makan dan minum hanya untuk mempertahankan kelanjutan hidup. Ia sedikit tidur dan banyak beribadat. Pakaiannyapun sederhana. Ia menjadi orang zahid dari dunia, orang yang tidak bisa lagi digoda oleh kesenangan dunia dan kelezatan materi. Yang dicarinya ialah kebahagiaan rohani, dan itu diperolehnya dalam berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan berdzikir.
    Kalau kesenangan dunia dan kelezatan materi tak bisa menggodanya lagi, ia keluar dari pengasingannya masuk kembali ke dunianya semula. Ia terus banyak berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan berdzikir. Ia juga akan selalu naik haji. Sampailah ia ke stasion wara'. Di stasion ini ia dijauhkan Tuhan dari perbuatan-perbuatan syubhat. Dalam literatur tasawuf disebut bahwa al-Muhasibi menolak makanan, karena di dalamnya terdapat syubhat. Bisyr al-Hafi tidak bisa mengulurkan tangan ke arah makanan yang berisi syubhat.
    Dari stasion wara', ia pindah ke stasion faqr. Di stasion ini ia menjalani hidup kefakiran. Kebutuhan hidupnya hanya sedikit dan ia tidak meminta kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya. Bahkan ia tidak meminta sungguhpun ia tidak punya. Ia tidak meminta tapi tidak menolak pemberian Tuhan.
    Setelah menjalani hidup kefakiran ia sampai ke stasion sabar. Ia sabar bukan hanya dalam menjalankan perintah-perintah Tuhan yang berat dan menjauhi larangan-larangan Tuhan yang penuh godaan, tetapi juga sabar dalam menerima percobaan-percobaan berat yang ditimpakan Tuhan kepadanya. Ia bukan hanya tidak meminta pertolongan dari Tuhan, bahkan ia tidak menunggu-nunggu datangnya pertolongan. Ia sabar menderita.
    Selanjutnya ia pindah ke stasion tawakkal. Ia menyerahkan diri sebulat-bulatnya kepada kehendak Tuhan. Ia tidak memikirkan hari esok; baginya cukup apa yang ada untuk hari ini. Bahkan, sungguhpun tak ada padanya, ia selamanya merasa tenteram. Kendatipun ada padanya, ia tidak mau makan, karena ada orang yang lebih berhajat pada makanan dari padanya. Ia bersikap seperti telah mati.
    Dari stasion tawakkal, ia meningkat ke stasion ridla. Dari stasion ini ia tidak menentang percobaan dari Tuhan bahkan ia menerima dengan senang hati. Ia tidak minta masuk surga dan dijauhkan dari neraka. Di dalam hatinya tidak ada perasaan benci, yang ada hanyalah perasaan senang. Ketika malapetaka turun, hatinya merasa senang dan di dalamnya bergelora rasa cinta kepada Tuhan. Di sini ia telah dekat sekali dengan Tuhan dan iapun sampai ke ambang pintu melihat Tuhan dengan hati nurani untuk selanjutnya bersatu dengan Tuhan.
    Karena stasion-stasion tersebut di atas baru merupakan tempat penyucian diri bagi orang yang memasuki jalan tasawuf, ia sebenarnya belumlah menjadi sufi, tapi baru menjadi zahid atau calon sufi. Ia menjadi sufi setelah sampai ke stasion berikutnya dan memperoleh pengalaman-pengalaman tasawuf.
    PENGALAMAN SUFI
    Di masa awal perjalanannya, calon sufi dalam hubungannya dengan Tuhan dipengaruhi rasa takut atas dosa-dosa yang dilakukannya. Rasa takut itu kemudian berubah menjadi rasa waswas apakah tobatnya diterima Tuhan sehingga ia dapat meneruskan perjalanannya mendekati Tuhan. Lambat laun ia rasakan bahwa Tuhan bukanlah zat yang suka murka, tapi zat yang sayang dan kasih kepada hamba-Nya. Rasa takut hilang dan timbullah sebagai gantinya rasa cinta kepada Tuhan. Pada stasion ridla, rasa cinta kepada Tuhan bergelora dalam hatinya. Maka ia pun sampai ke stasion mahabbah, cinta Ilahi. Sufi memberikan arti mahabbah sebagai berikut, pertama, memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya. Kedua, Menyerahkan seluruh diri kepada Yang Dikasihi. Ketiga, Mengosongkan hati dari segala-galanya, kecuali dari Diri Yang Dikasihi.
    Mencintai Tuhan tidaklah dilarang dalam Islam, bahkan dalam al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang menggambarkan cinta Tuhan kepada hamba dan cinta hamba kepada Tuhan. Ayat 54 dari surat al-Maidah, "Allah akan mendatangkan suatu umat yang dicintai-Nya dan orang yang mencintai-Nya." Selanjutnya ayat 30 dari surat 'Ali Imran menyebutkan, "Katakanlah, jika kamu cinta kepada Tuhan, maka turutlah Aku, dan Allah akan mencintai kamu."
    Hadits juga menggambarkan cinta itu, seperti yang berikut, "Senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku melalui ibadat sehingga Aku cinta kepadanya. Orang yang Ku-cintai, Aku menjadi pendengaran, penglihatan dan tangannya."
    Sufi yang masyhur dalam sejarah tasawuf dengan pengalaman cinta adalah seorang wanita bernama Rabi'ah al-'Adawiah (713-801 M) di Basrah. Cintanya yang dalam kepada Tuhan memalingkannya dari segala yang lain dari Tuhan. Dalam doanya, ia tidak meminta dijauhkan dari neraka dan pula tidak meminta dimasukkan ke surga. Yang ia pinta adalah dekat kepada Tuhan. Ia mengatakan, "Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut kepada neraka, bukan pula karena ingin masuk surga, tetapi aku mengabdi karena cintaku kepada-Nya." Ia bermunajat, "Tuhanku, jika kupuja Engkau karena takut kepada neraka, bakarlah mataku karena Engkau, janganlah sembunyikan keindahan-Mu yang kekal itu dari pandanganku."
    Sewaktu malam telah sunyi ia berkata, "Tuhanku, bintang di langit telah gemerlapan, mata-mata telah bertiduran, pintu-pintu istana telah dikunci, tiap pecinta telah berduaan dengan yang dicintainya, dan inilah aku berada di hadirat-Mu." Ketika fajar menyingsing ia dengan rasa cemas mengucapkan, "Tuhanku, malam telah berlalu dan siang segera akan menampakkan diri. Aku gelisah, apakah Engkau terima aku sehingga aku bahagia, ataukah Engkau tolak sehingga aku merasa sedih. Demi keMahakuasaan-Mu inilah yang akan kulakukan selama Engkau beri hajat kepadaku. Sekiranya Engkau usir aku dari depan pintuMu, aku tidak akan bergerak, karena cintaku kepada-Mu telah memenuhi hatiku."
    Pernah pula ia berkata, "Buah hatiku, hanya Engkaulah yang kukasihi. Beri ampunlah pembuat dosa yang datang ke hadiratMu, Engkau harapanku, kebahagiaan dari kesenanganku. Hatiku telah enggan mencintai selain Engkau." Begitu penuh hatinya dengan rasa cinta kepada Tuhan, sehingga ketika orang bertanya kepadanya, apakah ia benci kepada setan, ia menjawab, "Cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong di dalam hatiku untuk benci setan."
    Cinta tulus Rabi'ah al-'Adawiah kepada Tuhan, akhirnya dibalas Tuhan, dan ini tertera dari syairnya yang berikut:
    Kucintai Engkau dengan dua cinta,
    Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu,
    Cinta karena diriku Membuat aku lupa
    yang lain dan senantiasa menyebut nama-Mu,
    Cinta kepada diri-Mu,
    Membuat aku melihat Engkau karena Engkau bukakan hijab,
    Tiada puji bagiku untuk ini dan itu, Bagi-Mu-lah puji dan untuk itu semua.
    Rabi'ah al-'Adawiah, telah sampai ke stasion sesudah mahabbah, yaitu ma'rifah. Ia telah melihat Tuhan dengan hati nuraninya. Ia telah sampai ke stasion yang menjadi idaman kaum sufi. Dengan kata lain, Rabi'ah al-'Adawiah telah benar-benar menjadi sufi.
    Pengalaman ma'rifah, ditonjolkan oleh Zunnun al-Misri (w.860 M). Ma'rifah adalah anugerah Tuhan kepada sufi yang dengan ikhlas dan sungguh-sungguh mencintai Tuhan. Karena cinta ikhlas dan suci itulah Tuhan mengungkapkan tabir dari pandangan sufi dan dengan terbukanya tabir itu sufi pun dapat menerima cahaya yang dipancarkan Tuhan dan sufi pun melihat keindahan-Nya yang abadi. Ketika Zunnun ditanya, bagaimana ia memperoleh ma'rifah, ia menjawab, "Aku melihat dan mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan sekiranya tidak karena Tuhan aku tidak melihat dan tidak tahu Tuhan."
    Yang dimaksud Zunnun ialah bahwa ia memperoleh ma'rifah karena kemurahan hati Tuhan. Sekiranya Tuhan tidak membukakan tabir dari mata hatinya, ia tidak akan dapat melihat Tuhan. Sebagaimana disebut dalam literatur tasawuf, sufi berusaha keras mendekatkan diri dari bawah dan Tuhan menurunkan rahmat-Nya dari atas. Juga dikatakan bahwa ma'rifah datang ketika cinta sufi dari bawah dibalas Tuhan dari atas.
    Dalam hubungan dengan Tuhan, sufi memakai alat bukan akal yang berpusat di kepala, tapi qalb atau kalbu (jantung) yang berpusat di dada. Kalbu mempunyai tiga daya, pertama, daya untuk-mengetahui sifat-sifat Tuhan yang disebut qalb. Kedua, daya untuk mencintai Tuhan yang disebut ruh. Ketiga daya untuk melihat Tuhan yang disebut sirr.
    Sirr adalah daya terpeka dari kalbu dan daya ini keluar setelah sufi berhasil menyucikan jiwanya sesuci-sucinya. Dalam bahasa sufi, jiwa tak ubahnya sebagai kaca, yang kalau senantiasa dibersihkan dan digosok akan mempunyai daya tangkap yang besar. Demikian juga jiwa, makin lama ia disucikan dengan ibadat yang banyak, makin suci ia dan makin besar daya tangkapnya, sehingga akhirnya dapat menangkap daya cemerlang yang dipancarkan Tuhan. Ketika itu sufi pun bergemilang dalam cahaya Tuhan dan dapat melihat rahasia-rahasia Tuhan. Karena itu al-Ghazali mengartikan ma'rifat, "Melihat rahasia-rahasia Tuhan dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada."
    Kata ma'rifat memang mengandung arti pengetahuan. Maka, ma'rifat dalam tasawuf berarti pengetahuan yang diperoleh langsung dari Tuhan melalui kalbu. Pengetahuan ini disebut ilm ladunni. Ma'rifah berbeda dengan 'ilm. 'Ilm ini diperoleh melalui akal. Dalam pendapat al-Ghazali, pengetahuan yang diperoleh melalui kalbu, yaitu ma'rifah, lebih benar dari pengetahuan yang diperoleh melalui akal, yaitu 'ilm. Sebelum menempuh jalan tasawuf al-Ghazali diserang penyakit syak. Tapi, menurut al-Ghazali, setelah mencapai ma'rifah, keyakinannya untuk memperoleh kebenaran ternyata melalui tasawuf, bukan filsafat.
    Lebih jauh mengenai ma'rifah dalam literatur tasawuf dijumpai ungkapan berikut, pertama, kalau mata yang terdapat di dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah. Kedua, ma'rifah adalah cermin. Kalau sufi melihat ke cermin itu yang akan dilihatnya hanyalah Allah. Ketiga, yang dilihat orang 'arif, baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanyalah Allah. Keempat, sekiranya ma'rifah mengambil bentuk materi, cahaya yang disinarkannya gelap. Semua orang yang memandangnya akan mati karena tak tahan melihat kecemerlangan dan keindahannya.
    Tetapi sufi yang dapat menangkap cahaya ma'rifah dengan mata hatinya akan dipenuhi kalbunya dengan rasa cinta yang mendalam kepada Tuhan. Tidak mengherankan kalau sufi merasa tidak puas dengan stasion ma'rifah saja. Ia ingin berada lebih dekat lagi dengan Tuhan. Ia ingin mengalami persatuan dengan Tuhan, yang di dalam istilah tasawuf disebut ittihad.
Pengalaman ittihad ini ditonjolkan oleh Abu Yazid antara lain Bustami (w. 874 M). Ucapan-ucapan yang ditinggalkannya menunjukkan bahwa untuk mencapai ittihad diperlukan usaha yang keras dan waktu yang lama. Seseorang pernah bertanya kepada Abu Yazid tentang perjuangannya untuk mencapai ittihad. Ia menjawab, "Tiga tahun," sedang umurnya waktu itu telah lebih dari tujuh puluh tahun. Ia ingin mengatakan bahwa dalam usia tujuh puluh tahunlah ia baru sampai ke stasion ittihad.
    Sebelum sampai ke ittihad, seorang sufi harus terlebih dahulu mengalami fana' dan baqa'. Yang dimaksud dengan fana' adalah hancur sedangkan baqa' berarti tinggal. Sesuatu didalam diri sufi akan fana atau hancur dan sesuatu yang lain akan baqa atau tinggal. Dalam literatur tasawuf disebutkan, orang yang fana dari kejahatan akan baqa (tinggal) ilmu dalam dirinya; orang yang fana dari maksiat akan baqa (tinggal) takwa dalam dirinya. Dengan demikian, yang tinggal dalam dirinya sifat-sifat yang baik. Sesuatu hilang dari diri sufi dan sesuatu yang lain akan timbul sebagai gantinya. Hilang kejahilan akan timbul ilmu. Hilang sifat buruk akan timbul sifat baik. Hilang maksiat akan timbul takwa.
    Untuk sampai ke ittihad, sufi harus terlebih dahulu mengalami al-fana' 'an al-nafs, dalam arti lafdzi kehancuran jiwa. Yang dimaksud bukan hancurnya jiwa sufi menjadi tiada, tapi kehancurannya akan menimbulkan kesadaran sufi terhadap diri-Nya. Inilah yang disebut kaum sufi al-fana' 'an al-nafs wa al-baqa, bi 'l-Lah, dengan arti kesadaran tentang diri sendiri hancur dan timbullah kesadaran diri Tuhan. Di sini terjadilah ittihad, persatuan atau manunggal dengan Tuhan.
    Mengenai fana', Abu Yazid mengatakan, "Aku mengetahui Tuhan melalui diriku hingga aku hancur, kemudian aku mengetahui-Nya melalui diri-Nya dan akupun hidup. Sedangkan mengenai fana dan baqa', ia mengungkapkan lagi, "Ia membuat aku gila pada diriku hingga aku mati. Kemudian Ia membuat aku gila kepada diri-Nya, dan akupun hidup." Lalu, diapun berkata lagi, "Gila pada diriku adalah fana' dan gila pada diri-Mu adalah baqa' (kelanjutan hidup)."
    Dalam menjelaskan pengertian fana', al-Qusyairi menulis, "Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan makhluk lain. Sebenarnya dirinya tetap ada, demikian pula makhluk lain, tetapi ia tak sadar lagi pada diri mereka dan pada dirinya. Kesadaran sufi tentang dirinya dan makhluk lain lenyap dan pergi ke dalam diri Tuhan dan terjadilah ittihad."
    Ketika sampai ke ambang pintu ittihad dari sufi keluar ungkapan-ungkapan ganjil yang dalam istilah sufi disebut syatahat (ucapan teopatis). Syatahat yang diucapkan Abu Yazid, antara lain, sebagai berikut, "Manusia tobat dari dosanya, tetapi aku tidak. Aku hanya mengucapkan, tiada Tuhan selain Allah."
    Abu Yazid tobat dengan lafadz syahadat demikian, karena lafadz itu menggambarkan Tuhan masih jauh dari sufi dan berada di belakang tabir. Abu Yazid ingin berada di hadirat Tuhan, berhadapan langsung dengan Tuhan dan mengatakan kepadaNya: Tiada Tuhan selain Engkau.
    Dia juga mengucapkan, "Aku tidak heran melihat cintaku pada-Mu, karena aku hanyalah hamba yang hina. Tetapi aku heran melihat cinta-Mu padaku, karena Engkau adalah Raja Maha Kuasa."
    Kara-kata ini menggambarkan bahwa cinta mendalam Abu Yazid telah dibalas Tuhan. Lalu, dia berkata lagi, "Aku tidak meminta dari Tuhan kecuali Tuhan."
    Seperti halnya Rabi'ah yang tidak meminta surga dari Tuhan dan pula tidak meminta dijauhkan dari neraka dan yang dikehendakinya hanyalah berada dekat dan bersatu dengan Tuhan. Dalam mimpi ia bertanya, "Apa jalannya untuk sampai kepadaMu?"
    Tuhan menjawab, "Tinggalkan dirimu dan datanglah." Akhirnya Abu Yazid dengan meninggalkan dirinya mengalami fana, baqa' dan ittihad.
    Masalah ittihad, Abu Yazid menggambarkan dengan kata-kata berikut ini, "Pada suatu ketika aku dinaikkan kehadirat Tuhan dan Ia berkata, Abu Yazid, makhluk-Ku ingin melihat engkau. Aku menjawab, kekasih-Ku, aku tak ingin melihat mereka. Tetapi jika itu kehendak-Mu, aku tak berdaya menentang-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu melihat aku, mereka akan berkata, telah kami lihat Engkau. Tetapi yang mereka lihat sebenarnya adalah Engkau, karena ketika itu aku tak ada di sana."
    Dialog antara Abu Yazid dengan Tuhan ini menggambarkan bahwa ia dekat sekali dengan Tuhan. Godaan Tuhan untuk mengalihkan perhatian Abu Yazid ke makhluk-Nya ditolak Abu Yazid. Ia tetap meminta bersatu dengan Tuhan. Ini kelihatan dari kata-katanya, "Hiasilah aku dengan keesaan-Mu." Permintaan Abu Yazid dikabulkan Tuhan dan terjadilah persatuan, sebagaimana terungkap dari kata-kata berikut ini, "Abu Yazid, semuanya kecuali engkau adalah makhluk-Ku." Akupun berkata, aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau."
    Dalam literatur tasawuf disebut bahwa dalam ittihad, yang satu memanggil yang lain dengan kata-kata: Ya ana (Hai aku). Hal ini juga dialami Abu Yazid, seperti kelihatan dalam ungkapan selanjutnya, "Dialog pun terputus, kata menjadi satu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Maka Ia pun berkata kepadaku, "Hai Engkau, aku menjawab melalui diri-Nya "Hai Aku." Ia berkata kepadaku, "Engkaulah Yang Satu." Aku menjawab, "Akulah Yang Satu." Ia berkata lagi, "Engkau adalah Engkau." Aku menjawab: "Aku adalah Aku."
    Yang penting diperhatikan dalam ungkapan diatas adalah kata-kata Abu Yazid "Aku menjawab melalui diriNya" (Fa qultu bihi). Kata-kata bihi -melalui diri-Nya- menggambarkan bersatunya Abu Yazid dengan Tuhan, rohnya telah melebur dalam diri Tuhan. Ia tidak ada lagi, yang ada hanyalah Tuhan. Maka yang mengatakan "Hai Aku Yang Satu" bukan Abu Yazid, tetapi Tuhan melalui Abu Yazid.
    Dalam arti serupa inilah harus diartikan kata-kata yang diucapkan lidah sufi ketika berada dalam ittihad yaitu kata-kata yang pada lahirnya mengandung pengakuan sufi seolah-olah ia adalah Tuhan. Abu Yazid, seusai sembahyang subuh, mengeluarkan kata-kata, "Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku, Aku adalah Allah. Tiada Allah selain Aku, maka sembahlah Aku."
    Dalam istilah sufi, kata-kata tersebut memang diucapkan lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak berarti bahwa ia mengakui dirinya Tuhan. Mengakui dirinya Tuhan adalah dosa terbesar, dan sebagaimana dilihat pada permulaan makalah ini, agar dapat dekat kepada Tuhan, sufi haruslah bersih bukan dari dosa saja, tetapi juga dari syubhat. Maka dosa terbesar tersebut diatas akan membuat Abu Yazid jauh dari Tuhan dan tak dapat bersatu dengan Dia. Maka dalam pengertian sufi, kata-kata diatas betul keluar dari mulut Abu Yazid. Dengan kata lain, Tuhanlah yang mengaku diri-Nya Allah melalui lidah Abu Yazid. Karena itu dia pun mengatakan, "Pergilah, tidak ada di rumah ini selain Allah Yang Maha Kuasa. Di dalam jubah ini tidak ada selain Allah."
    Yang mengucapkan kata-kata itu memang lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak mengandung pengakuan Abu Yazid bahwa ia adalah Tuhan. Itu adalah kata-kata Tuhan yang diucapkan melalui lidah Abu Yazid.
    Sufi lain yang mengalami persatuan dengan Tuhan adalah Husain Ibn Mansur al-Hallaj (858-922 M), yang berlainan nasibnya dengan Abu Yazid. Nasibnya malang karena dijatuhi hukuman bunuh, mayatnya dibakar dan debunya dibuang ke sungai Tigris. Hal ini karena dia mengatakan, "Ana 'l-Haqq (Akulah Yang Maha Benar).
    Pengalaman persatuannya dengan Tuhan tidak disebut ittihad, tetapi hulul. Kalau Abu Yazid mengalami naik ke langit untuk bersatu dengan Tuhan, al-Hallaj mengalami persatuannya dengan Tuhan turun ke bumi. Dalam literatur tasawuf hulul diartikan, Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk bersemayam didalamnya dengan sifat-sifat ketuhanannya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dihancurkan.
    Di sini terdapat juga konsep fana, yang dialami Abu Yazid dalam ittihad sebelum tercapai hulul. Menurut al-Hallaj, manusia mempunyai dua sifat dasar: nasut (kemanusiaan) dan lahut (ketuhanan). Demikian juga Tuhan mempunyai dua sifat dasar, lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Landasan bahwa Tuhan dan manusia sama-sama mempunyai sifat diambil dari hadits yang menegaskan bahwa Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya.
    Hadits ini mengandung arti bahwa didalam diri Adam ada bentuk Tuhan dan itulah yang disebut lahut manusia. Sebaliknya didalam diri Tuhan terdapat bentuk Adam dan itulah yang disebut nasut Tuhan. Hal ini terlihat jelas pada syair al-Hallaj sebagai berikut:
    Maha Suci Diri Yang Sifat kemanusiaan-Nya
    Membukakan rahasia cahaya ketuhanan-Nya yang gemilang
    Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata
    Dalam bentuk manusia yang makan dan minum
    Dengan membersihkan diri malalui ibadat yang banyak dilakukan, nasut manusia lenyap dan muncullah lahut-nya dan ketika itulah nasut Tuhan turun bersemayam dalam diri sufi dan terjadilah hulul.
    Hal itu digambarkan al-Hallaj dalam syair berikut ini:
    Jiwa-Mu disatukan dengan jiwaku
    Sebagaimana anggur disatukan dengan air suci
    Jika Engkau disentuh, aku disentuhnya pula
    Maka, ketika itu -dalam tiap hal- Engkau adalah aku.
Hulul juga digambarkan dalam syair berikut:
    Aku adalah Dia yang kucintai
    Dan Dia yang kucintai adalah aku,
    Kami adalah dua jiwa yang menempati satu tubuh,
    Jika Engkau lihat aku, engkau lihat Dia,
    Dan jika engkau lihat Dia, engkau lihat Kami.
Ketika mengalami hulul yang digambarkan diatas itulah  lidah al-Hallaj   mengucapkan,  "Ana  'l-Haqq  (Akulah  Yang   Maha Benar). Tetapi sebagaimana halnya dengan Abu Yazid, ucapan itu tidak mengandung  arti  pengakuan al-Hallaj dirinya menjadi Tuhan. Kata-kata itu adalah kata-kata Tuhan yang Ia ucapkan melalui lidah al-Hallaj. Sufi yang bernasib malang ini mengatakan,
"Aku adalah rahasia Yang Maha Benar,
Yang Maha Benar bukanlah Aku,
Aku hanya satu dari yang benar,
Maka bedakanlah antara kami."
Syatahat atau kata-kata teofani  sufi  seperti  itu  membuat kaum  syari'at  menuduh  sufi  telah menyeleweng dari ajaran Islam dan menganggap tasawuf bertentangan dengan Islam. Kaum syari'at yang banyak terikat kepada formalitas ibadat, tidak menangkap pengalaman  sufi  yang  mementingkan  hakekat  dan tujuan ibadat, yaitu mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan.
Dalam sejarah  Islam  memang  terkenal  adanya  pertentangan keras  antara  kaum  syari'at  dan  kaum hakekat, gelar yang diberikan kepada kaum sufi. Pertentangan ini mereda  setelah al-Ghazali  datang  dengan pengalamannya bahwa jalan sufilah yang dapat membawa orang kepada kebenaran yang  menyakinkan. Al-Ghazali  menghalalkan  tasawuf  sampai  tingkat ma'rifah, sungguhpun ia tidak mengharamkan tingkat  fana',  baqa,  dan ittihad. Ia tidak mengkafirkan Abu Yazid dan al-Hallaj, tapi mengkafirkan al-Farabi dan Ibn Sina.
Kalau filsafat,  setelah  kritik  al-Ghazali  dalam  bukunya Tahafut  al-Falasifah,  tidak berkembang lagi di dunia Islam Sunni, tasawuf  sebaliknya  banyak  diamalkan,  bahkan  oleh syariat  sendiri.  Dalam  perkembangan  selanjutnya, setelah pengalaman  persatuan  manusia  dengan  Tuhan  yang    dibawa al-Bustami  dalam  ittihad  dan  al-Hallaj dalam hulul, Muhy al-Din Ibn 'Arabi (1165-1240) membawa ajaran kesatuan  wujud makhluk dengan Tuhan dalam wahdat al-wujud.
Lahut  dan nasut, yang bagi al-Hallaj merupakan dua hal yang berbeda, ia satukan menjadi dua aspek. Dalam  pengalamannya, tiap makhluk mempunyai dua aspek. Aspek batin yang merupakan esensi, disebut  al-haqq,  dan  aspek  luar  yang  merupakan aksiden  disebut al-khalq. Semua makhluk dalam aspek luarnya berbeda, tetapi dalam aspek batinnya  satu,  yaitu  al-haqq. Wujud semuanya satu, yaitu wujud al-haqq.
Tuhan,  sebagaimana  disebut dalam Hadits yang telah dikutip pada permulaan, pada  awalnya  adalah  "harta"  tersembunyi, kemudian  Ia  ingin dikenal maka diciptakan-Nya makhluk, dan melalui makhluklah Ia dikenal. Maka, alam  sebagai  makhluk, adalah penampakan diri atau tajalli dari Tuhan. Alam sebagai cermin yang didalamnya terdapat gambar  Tuhan.  Dengan  kata lain,  alam  adalah  bayangan Tuhan. Sebagai bayangan, wujud alam tak akan ada tanpa wujud Tuhan. Wujud  alam  tergantung pada  wujud  Tuhan.  Sebagai  bayangan,  wujud  alam bersatu dengan wujud Tuhan dalam ajaran wahdat al-wujud.
Yang ada dalam alam  ini  kelihatannya  banyak  tetapi  pada hakekatnya  satu. Keadaan ini tak ubahnya sebagai orang yang melihat dirinya dalam beberapa  cermin  yang  diletakkan  di sekelilingnya.  Di  dalam  tiap cermin, ia lihat dirinya. Di dalam  cermin,  dirinya  kelihatan   banyak,   tetapi    pada hakekatnya  dirinya  hanya  satu.  Yang lain dan yang banyak adalah bayangannya.
Oleh karena itu ada orang yang mengidentikkan ajaran  wahdat al-wujud  Ibn  Arabi  dengan panteisme dalam arti bahwa yang disebut Tuhan adalah alam semesta.  Jelas  bahwa  Ibn  Arabi tidak  mengidentikkan  alam  dengan  Tuhan.  Bagi Ibn Arabi, sebagaimana halnya dengan sufi-sufi  lainnya,  Tuhan  adalah transendental  dan  bukan  imanen.  Tuhan berada di luar dan bukan di dalam alam. Alam hanya  merupakan  penampakan  diri atau tajalli dari Tuhan.
Ajaran  wahdat al-wujud dengan tajalli Tuhan ini selanjutnya membawa pada  ajaran  al-Insan  al-Kamil  yang  dikembangkan terutama  oleh  Abd  al-Karim  al-Jilli  (1366-1428).  Dalam pengalaman al-Jilli,  tajalli  atau  penampakan  diri  Tuhan mengambil  tiga  tahap  tanazul (turun), ahadiah, Huwiah dan Aniyah.
Pada tahap ahadiah, Tuhan dalam keabsolutannya  baru  keluar dari  al-'ama,  kabut  kegelapan, tanpa nama dan sifat. Pada tahap hawiah nama dan sifat Tuhan telah muncul, tetapi masih dalam  bentuk potensial. Pada tahap aniah, Tuhan menampakkan diri dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya pada  makhluk-Nya. Di   antara   semua   makhluk-Nya,   pada   diri  manusia  Ia menampakkan diri-Nya dengan segala sifat-Nya.
Sungguhpun manusia merupakan tajalli  atau  penampakan  diri Tuhan  yang  paling  sempurna  diantara  semua  makhluk-Nya, tajalli-Nya tidak sama pada  semua  manusia.  Tajalli  Tuhan yang  sempurna  terdapat  dalam  Insan Kamil. Untuk mencapai tingkat  Insan  Kamil,   sufi   mesti   mengadakan    taraqqi (pendakian)  melalui  tiga  tingkatan: bidayah, tawassut dan khitam.
Pada tingkat bidayah, sufi disinari  oleh  nama-nama  Tuhan, dengan kata lain, pada sufi yang demikian, Tuhan menampakkan diri dalam nama-nama-Nya, seperti  Pengasih,  Penyayang  dan sebagainya (tajalli fi al-asma). Pada tingkat tawassut, sufi disinari oleh sifat-sifat Tuhan, seperti hayat, ilmu, qudrat dll.   Dan  Tuhan  ber-tajalli  pada  sufi  demikian   dengan sifat-sifat-Nya. Pada tingkat  khitam,  sufi  disinari  dzat Tuhan  yang dengan demikian sufi tersebut ber-tajalli dengan dzat-Nya. Pada tingkat ini sufi pun menjadi Insan Kamil.  Ia menjadi  manusia  sempurna,  mempunyai  sifat  ketuhanan dan dalam  dirinya  terdapat  bentuk  (shurah)   Allah.    Dialah bayangan  Tuhan  yang  sempurna.  Dan  dialah  yang   menjadi perantara antara manusia dan  Tuhan.  Insan  Kamil  terdapat dalam  diri  para  Nabi  dan  para wali. Di antara semuanya, Insan  Kamil  yang  tersempurna  terdapat  dalam  diri   Nabi Muhammad.
Demikianlah, tujuan sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Tuhan akhirnya tercapai malalui  ittihad  serta  hulul  yang mengandung pengalaman persatuan roh manusia dengan roh Tuhan dan melalui wahdat al-wujud yang mengandung arti  penampakan diri  atau  tajalli  Tuhan  yang  sempurna  dalam diri Insan Kamil.
Sementara itu tasawuf pada masa  awal  sejarahnya  mengambil bentuk tarekat, dalam arti organisasi tasawuf, yang dibentuk oleh murid-murid atau  pengikut-pengikut  sufi  besar  untuk melestarikan ajaran gurunya. Di antara tarekat-tarekat besar yang terdapat di Indonesia adalah Qadiriah yang muncul  pada abad  ke-13  Masehi  untuk  melestarikan  ajaran Syekh Abdul Qadir Jailani (w. 1166 M), Naqsyabandiah, muncul  pada  abad ke-14  bagi  pengikut  Bahauddin  Naqsyabandi  (w.  1415 M), Syattariah, pengikut  Abdullah  Syattar  (w.  1415  M),  dan Tijaniah   yang  muncul  pada  abad  ke-19  di   Marokko  dan Aljazair.  Tarekat-tarekat  besar  lain  diantaranya  adalah Bekhtasyiah  di  Turki,  Sanusiah  di  Libia,  Syadziliah di Marokko, Mesir dan Suria,  Mawlawiah  (Jalaluddin  Rumi)  di Turki, dan Rifa'iah di Irak, Suria dan Mesir.
Dalam  tarekat,  ajaran-ajaran sufi besar tersebut terkadang diselewengkan,  sehingga  tarekat  menyimpang  dari   tujuan sebenarnya  dari sufi untuk menyucikan diri dan berada dekat dengan Tuhan. Tarekat ada yang telah menyalahi ajaran  dasar sufi  dan  syari'at  Islam,  sehingga timbullah pertentangan antara kaum syari'at dan kaum tarekat.
Sementara itu ada pula tarekat  yang  menekankan  pentingnya kehidupan  rohani  dan  mengabaikan  kehidupan  duniawi, dan disamping  itu  menekankan  ajaran  tawakal  sufi,  sehingga mengabaikan  usaha.  Dengan  kata  lain,  yang  dikembangkan tarekat adalah orientasi akhirat dan sikap tawakal.
Perlu ditegaskan bahwa sampai permulaan abad ke-20,  tarekat mempunyai  pengaruh  besar  dalam  masyarakat  Islam. Karena pengaruh besar itu, orang-orang yang ingin mendapat dukungan dari  masyarakat  menjadi  anggota tarekat. Di Turki Usmani, tentara  menjadi  anggota  tarekat   Bekhtasyi   dan    dalam perlawanan   mereka   terhadap   pembaharuan  yang   diadakan sultan-sultan,  mereka  mendapat   sokongan   dari    tarekat Bekhtasyi dan para ulama Turki.
Karena pengaruh besar dalam masyarakat itu orientasi akhirat dan sikap tawakal berkembang di  kalangan  umat  Islam  yang bekas-bekasnya  masih  ada  pada kita sampai sekarang. Untuk itu tidak mengherankan kalau  pemimpin-pemimpin  pembaharuan dalam  Islam  seperti  Jamaluddin  Afghani,  Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan terutama Kamal  Ataturk  memandang  tarekat sebagai  salah  satu  faktor  yang membawa kepada kemunduran umat Islam.
Dalam pada itu dunia dewasa ini  dilanda  oleh  materialisme yang  menimbulkan berbagai masalah sosial yang pelik. Banyak orang mengatakan bahwa dalam  menghadapi  meterialisme  yang melanda    dunia    sekarang,   perlu    dihidupkan   kembali spiritualisme. Disini tasawuf dengan ajaran  kerohanian  dan akhlak  mulianya  dapat  memainkan  peranan  penting. Tetapi untuk itu yang perlu  ditekankan  tarekat  dalam  diri  para pengikutnya  adalah  penyucian  diri  dan pembentukan akhlak mulia  disamping   kerohanian   dengan   tidak    mengabaikan kehidupan keduniaan.
Pada  akhir-akhir ini memang kelihatan gejala orang-orang di Barat  yang  bosan  hidup  kematerian  lalu  mencari    hidup kerohanian  di  Timur.  Ada  yang  pergi ke kerohanian dalam agama Buddha, ada ke kerohanian dalam agama  Hindu  dan  tak sedikit  pula  yang  mengikuti kerohanian dalam agama Islam, umpamanya aliran Subud di Jakarta.
Dalam hubungan itu kira-kira 30  tahun  lalu,  A.J.  Arberry dalam  bukunya  Sufism menulis bahwa Muslim dan bukan Muslim adalah makhluk Tuhan yang satu.  Oleh  karena  itu  bukanlah tidak  pada tempatnya bagi seorang Kristen untuk mempelajari ajaran-ajaran sufi yang telah  meninggalkan  pengaruh  besar dalam  kehidupan  umat  Islam  dan bersama-sama dengan orang Islam menggali kembali ajaran-ajaran sufi  yang  akan  dapat memenuhi kebutuhan orang yang mencari nilai-nilai kerohanian dan moral zaman yang penuh kegelapan dan  tantangan  seperti sekarang.

Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO